Nama :Raden Ayu Siti Hartinah(yang lebih kita kenal dengan nama Ibu Tin Soeharto)
Lahir :di Desa Jaten, Surakarta, Jawa Tengah, 23 Agustus 1923
Meninggal :28 April 1996 (umur 72)
Kebangsaan :Indonesia
Agama : Islam
Suami :Soeharto
Anak : -Siti Hardijanti Rukmana (Tutut),Sigit Harjojudanto (Sigit),Bambang Trihatmodjo (Bambang),Siti Hediati Hariyadi (Titiek),Hutomo Mandala Putra (Tommy),Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek)
Lahir :di Desa Jaten, Surakarta, Jawa Tengah, 23 Agustus 1923
Meninggal :28 April 1996 (umur 72)
Kebangsaan :Indonesia
Agama : Islam
Suami :Soeharto
Anak : -Siti Hardijanti Rukmana (Tutut),Sigit Harjojudanto (Sigit),Bambang Trihatmodjo (Bambang),Siti Hediati Hariyadi (Titiek),Hutomo Mandala Putra (Tommy),Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek)
Sejarah Singkat:
Masa Kecil
Masa kecil Siti Hartinah diwarnai dengan berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti orang tuanya yang ditugaskan ke berbagai daerah. Terkadang, ketika dipindahkan ke sebuah wilayah, orangtuanya belum menyiapkan tempat tinggal untuk keluarga itu. Ada kalanya keluarga itu tinggal sementara di rumah Kepala Desa sebelum mendapatkan rumah baru. Pada masa itu belum ada istilah rumah dinas untuk pejabat golongan rendah.
Masa kecil Siti Hartinah diwarnai dengan berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti orang tuanya yang ditugaskan ke berbagai daerah. Terkadang, ketika dipindahkan ke sebuah wilayah, orangtuanya belum menyiapkan tempat tinggal untuk keluarga itu. Ada kalanya keluarga itu tinggal sementara di rumah Kepala Desa sebelum mendapatkan rumah baru. Pada masa itu belum ada istilah rumah dinas untuk pejabat golongan rendah.
Masa Remaja
Di Wonogiri, Siti Hartinah berhasil menyelesaikan sekolahnya di HIS. Jarak antara rumah dengan sekolah sekitar 5 Km. Untuk mencapai sekolah, ia dan kakaknya selalu naik andong.
Selama bersekolah ia selalu memakai kebaya, bukan memakai rok. Hanya pada kegiatan kepanduan JPO (Javaanche Padvinder Organisatie) ia diizinkan orangtuanya memakai rok, pakaian seragam JPO. Karena rajin mengikuti latihan-latihan di JPO, akhirnya dalam dirinya tumbuh tunas-tunas idealisme yang terus berkembang. Fungsi kepanduan yang universal adalah pembinaan budi pekerti, watak, dan karakter sejak usia muda, disiplin dan solidaritas serta tolong menolong, saling hormat menghormati serta saling menyayangi.
Istri Presiden
Pada suatu hari, istri Panglima Kostrad, Ny Soeharto kedatangan seorang penjual batu akik. Si penjual adalah warga negara Indonesia keturunan India. Ny. Soeharto tidak menunjukkan minat terhadap barang dagangannya. Si penjual pun menjual komoditas lainnya, meramal nasib.
Mula-mula si peramal menyebutkan masa lalu Siti Hartinah Soeharto. Merasa banyak kecocokan, akhirnya nyonya rumah mita diteruskan meskipun hanya sekadar iseng. Hingga kemudian si peramal itu berkata, “Madam, suami madam akan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan presiden yang sekarang.”
Ny. Soeharto tidak lantas percaya. Menjadi perwira tinggi AD saja sudah demikian berat tugasnya. Si peramal pun tidak memaksa kliennya untuk percaya. Ia hanya perlu bayaran sebagai imbalan jasa ramalannya. Akhirnya, dibayarlah si peramal itu sesuai dengan yang diminta.
Pada tahun 1967, Sidang Istimewa MPRS secara aklamasi mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Ini berarti, Ny. Soeharto yang tadinya adalah istri prajurit kini menjadi istri presiden. Menduduki jabatan presiden, baik oleh Soeharto maupun istrinya tidak pernah terpikirkan sama sekali.
Ny. Soeharto yang telah terbiasa dengan kehidupan di lingkungan angkatan bersenjata merasa istilah “pejabat” mengandung arti kesementaraan. Namanya “pejabat” artinya belum definitif. Jika MPRS menganggap tugasnya sudah rampung, maka MPRS sangat mungkin mengangkat orang lain menjadi presiden tanpa embel-embel “pejabat”.
Perasaannya mengatakan, jabatan suaminya itu tidak akan lama. Itulah sebabnya, pada saat Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpahnya oleh MPR, Ny. Soeharto biasa-biasa saja di rumah dan tidak hadir menyaksikan peristiwa yang bersejarah itu. Meskipun ia mengucapkan syukur kepada Tuhan yang menakdirkan suaminya memimpin negeri ini. Namun, ia tetap belum merasa sebagai istri presiden. Sebab menurutnya, Presiden RI masih Bung Karno. Padahal saat itu sebenarnya ia telah menjadi ibu utama Indonesia dalam usia 44 tahun.
Pada saat diangkat menjadi pejabat presiden, Jenderal Soeharto sempat menolak dengan alasan tidak yakin mampu mengemban tugas berat. Ia juga beralasan tidak mempersiapkan diri untuk memangku jabatan presiden. Setelah banyaknya desakan, ia akhirnya bersedia meski dengan syarat dicoba dulu untuk satu tahun.
Pada suatu hari, istri Panglima Kostrad, Ny Soeharto kedatangan seorang penjual batu akik. Si penjual adalah warga negara Indonesia keturunan India. Ny. Soeharto tidak menunjukkan minat terhadap barang dagangannya. Si penjual pun menjual komoditas lainnya, meramal nasib.
Mula-mula si peramal menyebutkan masa lalu Siti Hartinah Soeharto. Merasa banyak kecocokan, akhirnya nyonya rumah mita diteruskan meskipun hanya sekadar iseng. Hingga kemudian si peramal itu berkata, “Madam, suami madam akan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan presiden yang sekarang.”
Ny. Soeharto tidak lantas percaya. Menjadi perwira tinggi AD saja sudah demikian berat tugasnya. Si peramal pun tidak memaksa kliennya untuk percaya. Ia hanya perlu bayaran sebagai imbalan jasa ramalannya. Akhirnya, dibayarlah si peramal itu sesuai dengan yang diminta.
Pada tahun 1967, Sidang Istimewa MPRS secara aklamasi mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Ini berarti, Ny. Soeharto yang tadinya adalah istri prajurit kini menjadi istri presiden. Menduduki jabatan presiden, baik oleh Soeharto maupun istrinya tidak pernah terpikirkan sama sekali.
Ny. Soeharto yang telah terbiasa dengan kehidupan di lingkungan angkatan bersenjata merasa istilah “pejabat” mengandung arti kesementaraan. Namanya “pejabat” artinya belum definitif. Jika MPRS menganggap tugasnya sudah rampung, maka MPRS sangat mungkin mengangkat orang lain menjadi presiden tanpa embel-embel “pejabat”.
Perasaannya mengatakan, jabatan suaminya itu tidak akan lama. Itulah sebabnya, pada saat Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpahnya oleh MPR, Ny. Soeharto biasa-biasa saja di rumah dan tidak hadir menyaksikan peristiwa yang bersejarah itu. Meskipun ia mengucapkan syukur kepada Tuhan yang menakdirkan suaminya memimpin negeri ini. Namun, ia tetap belum merasa sebagai istri presiden. Sebab menurutnya, Presiden RI masih Bung Karno. Padahal saat itu sebenarnya ia telah menjadi ibu utama Indonesia dalam usia 44 tahun.
Pada saat diangkat menjadi pejabat presiden, Jenderal Soeharto sempat menolak dengan alasan tidak yakin mampu mengemban tugas berat. Ia juga beralasan tidak mempersiapkan diri untuk memangku jabatan presiden. Setelah banyaknya desakan, ia akhirnya bersedia meski dengan syarat dicoba dulu untuk satu tahun.
Hal-hal yang di lakukan untuk negara
Taman Mini Indonesia Indah
Ketika
mengunjungi Disneyland di Amerika Serikat dan menyaksikan taman budaya
Timland di Thailand, memberi inspirasi bagi Ibu Tien untuk membangun
sebuah taman yang menyajikan keindahan budaya dan lingkungan alam
Indonesia. Ibu Tien amat menyadari bahwa kekayaan alam dan budaya
Indonesia tidak kalah dengan kekayaan alam dan budaya negara lain.
Membangun sebuah miniatur Indonesia menurutnya adalah suatu keniscayaan.
Suaminya, Pak Harto, selalu berkata bahwa Indonesia menjadi negara besar karena sejarahnya yang panjang, perjuangan bangsanya yang hebat, dan kebudayaannya yang tinggi. Betapa indahnya rumah-rumah adat dan betapa beraneka ragamnya kebudayaan mulai dari Sabang sampai Merauke. Ia juga ketika berkunjung ke berbagai daerah di tanah air melihat dengan mata kepala sendiri betapa indahnya budaya bangsa Indonesia.
Pada bulan Maret 1971, dalam rapat pleno Yayasan Harapan Kita, gagasan ini diutarakan. Setelah memahami maksud dan tujuan dari gagasannya itu, tidak satu pun peserta pertemuan yang tidak setuju. Semuanya mendukung gagasan Ibu Tien. Meskipun demikian, dukungan dari masyarakat luas tidak didapat dengan mudah. Terjadi perbedaan pendapat dalam menyikapi gagasan Ibu Tien itu.
Aksi-aksi protes menentang pelaksanaan proyek pembangunan taman mini terus terjadi. Lambat laun aksi demo semakin membesar. DPR yang terbentuk dari hasil Pemilu 1971 dan belum memiliki tata tertib maupun komisi-komisi, segera membentuk panitia khusus untuk secara lugas mendudukkan persoalan pada relnya, agar gagasan Ibu Tien itu lebih jelas, transparan, dan dipahami.
Setelah melakukan public hearing dengan berbagai komponen seperti mahasiswa, pengurus Yayasan Harapan Kita (YHK), Konsultan proyek, dan Gubernur DKI, Pansus DPR menyimpulkan bahwa telah terjadi kesenjangan komunikasi dalam menanggapi proyek itu. Masyarakat masih traumatis dengan berbagai proyek mercu suar yang pernah dibangun pada masa Orde Lama. Di samping itu, ada beberapa pihak yang berusaha memancing di air keruh, memanfaatkan isu proyek MMI sebagai isu politik untuk kepentingan mereka. Pak Harto pernah berkata, “Saya tahu bahwa ada kelompok tertentu yang ingin menjadikan proyek yang kami cita-citakan sebagai isu politik.”
Suaminya, Pak Harto, selalu berkata bahwa Indonesia menjadi negara besar karena sejarahnya yang panjang, perjuangan bangsanya yang hebat, dan kebudayaannya yang tinggi. Betapa indahnya rumah-rumah adat dan betapa beraneka ragamnya kebudayaan mulai dari Sabang sampai Merauke. Ia juga ketika berkunjung ke berbagai daerah di tanah air melihat dengan mata kepala sendiri betapa indahnya budaya bangsa Indonesia.
Pada bulan Maret 1971, dalam rapat pleno Yayasan Harapan Kita, gagasan ini diutarakan. Setelah memahami maksud dan tujuan dari gagasannya itu, tidak satu pun peserta pertemuan yang tidak setuju. Semuanya mendukung gagasan Ibu Tien. Meskipun demikian, dukungan dari masyarakat luas tidak didapat dengan mudah. Terjadi perbedaan pendapat dalam menyikapi gagasan Ibu Tien itu.
Aksi-aksi protes menentang pelaksanaan proyek pembangunan taman mini terus terjadi. Lambat laun aksi demo semakin membesar. DPR yang terbentuk dari hasil Pemilu 1971 dan belum memiliki tata tertib maupun komisi-komisi, segera membentuk panitia khusus untuk secara lugas mendudukkan persoalan pada relnya, agar gagasan Ibu Tien itu lebih jelas, transparan, dan dipahami.
Setelah melakukan public hearing dengan berbagai komponen seperti mahasiswa, pengurus Yayasan Harapan Kita (YHK), Konsultan proyek, dan Gubernur DKI, Pansus DPR menyimpulkan bahwa telah terjadi kesenjangan komunikasi dalam menanggapi proyek itu. Masyarakat masih traumatis dengan berbagai proyek mercu suar yang pernah dibangun pada masa Orde Lama. Di samping itu, ada beberapa pihak yang berusaha memancing di air keruh, memanfaatkan isu proyek MMI sebagai isu politik untuk kepentingan mereka. Pak Harto pernah berkata, “Saya tahu bahwa ada kelompok tertentu yang ingin menjadikan proyek yang kami cita-citakan sebagai isu politik.”
Perpustakaan Nasional