WALISONGO
Dulu, ketika masih kanak-kanak, saya mengenal cerita tokoh WALISONGO
dari guru mengaji di kampung. Walisongo dikenal sebagai 9 orang wali
yang menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Setelah membaca beberapa buku
sejarah Walisongo, ternyata apa yang saya ketahui tentang Walisongo
pada saat masih kanak-kanak itu sebenarnya bukanlah 9 orang Wali
kharismatik yang menyebarkan Islam di tanah Jawa, tetapi pengertian
Walisongo yang sebenarnya adalah Dewan Dakwah atau Dewan Mubaligh yang
bernama Walisongo, di dalamnya tergabung 9 para ulama kharismatik yang
berdakwah di seluruh pelosok pulau Jawa.
Untuk
lebih mengenal Dewan Dakwah Walisongo ini, saya sajikan
sejarahnya yang terdapat dalam salah satu buku Kisah Walisongo. Dan
kali ini saya sajikan Kisah Walisongo yang ditulis oleh: Abu Khalid,
MA. Untuk kisah dan pengalaman masing-masing wali yang dikenal
masyarakat luas akan saya sajikan terpisah. Dalam kisah dan pengalaman
Walisongo yang ditulis oleh para sejarawan itu melukiskan berbagai
karomah yang diberikan Allah swt kepada mereka. Bagi sebagian orang
-jangankan karomah- mukjizat yang diberikan Allah swt kepada
Nabi-nabiNYA terkadang dianggap sebagai cerita bohong belaka, walaupun
telah jelas tertulis dalam kitab suciNYA. Oleh karena itu, membaca
kisah Walisongo dengan berbagai karomahnya tentu bukan hal yang paling
utama untuk diambil sebagai pelajaran. Menurut hemat saya, mengenali
semangat, upaya, keikhlasan, serta ketaatannya kepada Sang Khalik dalam
menyebarkan ajaranNYA itulah yang lebih penting untuk kita ketahui dan
teladani.
Seperti yang tertulis dalam buku Kisah "Walisongo" tersebut, umumnya kita mengenal Walisongo hanyalah sembilan orang yaitu: Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, sunan kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan GunungJati
Seperti
tersebut dalam Kitab Kanzul Ulul Ibnul Bathuthah yang penulisnya
dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghrobi, Walisongo melakukan sidang
tiga kali, yaitu:
Tahun 1404 M adalah sembilan wali.
Tahun 1436 M masuk tiga wali mengganti yang wafat.
Tahun 1463 M masuk empat wali mengganti yang wafat dan pergi.
Menurut
KH Dachlan Abd. Qohar, pada tahun 1466 M, Walisongo melakukan sidang
lagi membahas berbagai hal. Diantaranya adalah perkara Syekh Siti Jenar,
meninggalnya dua orang wali yaitu Maulana Muhammad Al Maghrobi dan
Maulana Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali menjadi
anggota Walisongo.
1. Walisongo Periode Pertama
Pada waktu Sultan Muhammad 1 memerintah kerajaan Turki, beliau
menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat.
Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua
kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada
yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat
yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Sang
Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara
dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah
untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu
tinggi serta memiliki karomah.
Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
- Maulana
Malik Ibrahim, berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah
di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya
terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
- Maulana Ishak berasal dari Samarqand (dekat Bukhara-Rusia
Selatan). Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai
Maulana Ishak pindah ke Pasai dan wafat di sana.
- Maulana Ahmad Jumadil Kubra, berasal dari Mesir. Beliau
berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa
Timur.
- Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maghrib (Maroko),
beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom
Klaten, Jawa Tengah.
- Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
- Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia (Iran). Ahli pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
- Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling.
Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
- Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling.
Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
- Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode
rukyah) tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan
manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan lalu tanah yang
telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali
(dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada
tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau
sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian
Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa
sajadah yang terbuat dari batu kuno.
2. Walisongo Periode Kedua
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah:
- Raden
Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M
menggantikan Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden
Ahmad berasal dari Cempa, Muangthai Selatan (Thailand Selatan).
- Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa
tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435
M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
- Syarif Hidayatullah, berasal dari Palestina. Datang di Jawa
pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun
1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel
Surabaya.
Para wali
kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil
Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana
Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana
Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian
tugas ini maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah
sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.
3. Walisongo Periode Ketiga
Pada tahun 1463 M. Masuklah empat wali menjadi anggota Walisongo yaitu:
- Raden
Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin kelahiran Blambangan Jawa
Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan
Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku
ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri
Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal
dengan sebutan Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
- Raden Said, atau Sunan Kalijaga,
kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilatikta yang
berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir
yang kembali ke Persia.
- Raden
Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau
adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan kedudukan
Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo
yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.
4. Walisongo Periode Keempat
Pada tahun 1466 diangkat dua wali
menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan
Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya ialah:
- Raden atau Raden Fattah (Raden Patah)
Raden Patah adalah murid Sunan Ampel, beliau adalah putra Raja
Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada
tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan
dinobatkan sebagai Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468.
- Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati, beliau dipilih sebagai
anggota Walisongo menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.
5. Walisongo Periode Kelima
Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau
Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat.
Konon
Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota
Walisongo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran
yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti
Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh
Sunan Bayat – bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi
murid Sunan Kalijaga.
Selanjutnya,
kisah, legenda atau riwayat masing-masing wali yang dikenal masyarakat
secara umum akan disajikan pada halaman terpisah. Adapun Wali yang
dikenal masyarakat secara luas sebagai WALISONGO adalah:
1. Syekh Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel
3. Sunan Bonang
4. Sunan Giri
5. Sunan Drajad
6. Sunan Muria
7. Sunan Kudus
8. Sunan Kalijaga
9. Sunan Gunungjati
Para
peziarah Walisongo, biasanya mendatangi makam sembilan wali tersebut.
Jika ziarah itu ingin lebih lengkap maka pemimpin ziarah (yang mengerti
sejarah Walisongo) akan
menziarahi pula Walisongo periode pertama hingga periode keempat,
termasuk guru-guru atau orang tua dari para wali periode kelima.
Misalnya, seseorang dari Surabaya yang telah berziarah ke makam Sunan
Drajad, ia pasti akan menyempatkan diri berziarah ke makam Syekh
Maulana Malik Ibrahim Asmarakandi di Gresikharjo, beliau adalah kakek
Sunan Drajad dan ayah dari Raden Rahmat Sunan Ampel.
Itulah sejarah singkat Walisongo, semoga dapat menambah pengetahuan anda semua. Amin!
Ringkasan Silsilah dari Rasulullah sampai Walisongo
RASULULLAH MUHAMMAD SAW
|
IMAM ‘ALI AL-MURTADHA BIN ABU THALIB
|
IMAM HUSEIN AS-SAYYID BIN IMAM ‘ALI AL-MURTADHA BIN ABU THALIB
|
IMAM ‘ALI ZAINAL ABIDIN bin IMAM HUSEIN AS-SAYYID
|
IMAM MUHAMMAD AL BAQIR bin IMAM ‘ALI ZAINAL ABIDIN
|
IMAM JA’FAR ASH-SHADIQ bin IMAM MUHAMMAD AL BAQIR
|
‘ALI AR-URAIDHI bin IMAM JA’FAR ASH-SHADIQ (Leluhur Jamaludin Husein Al-Akbar)
|
JAMALUDIN HUSEIN AL-AKBAR (LELUHUR WALI SONGO)
|
WALISONGO
1. Syekh Maulana Malik Ibrahim
Jauh
sebelum Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah
ada masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa
Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita
bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah
atau pada tahun 1082 M.
Jadi,
sebelum jaman Walisongo, Islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah
Jepara dan Leren. Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang secara
besar-besaran.
Maulana
Malik Ibrahim yang lebih dikenal penduduk setempat sebagai Kakek
Bantal itu diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M, beliau
berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419.
Pada
masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja
dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian
rakyat Gresik sudah ada yang beragama Islam tapi masih banyak yang
beragama Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam
berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi
yang tepat berdasarkan ajaran Al Qur’an yaitu: “Hendaknya engkau ajak ke
jalan Tuhanmu dengan himah (kebijaksanaan) dan dengan
petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar
pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya (QS An Nahl: 125)
Ada
yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki dan pernah mengembara
di Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang
Hindu di Pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah negeri India yang
kebanyakan penduduknya beragama Hindu.
Di
Jawa, Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu,
melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun
mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari
orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan musyrik. Caranya:
beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu
melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan
keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad
saw.
Dari
huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa
Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir
miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara
yang ulung. Hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap
masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan
rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
Keterangan
yang tertulis di makamnya ialah sebagai berikut: “Inilah makam
Almarhum Almaghfur yang berharap rahmat Tuhan kebanggaan para Pangeran,
sendi para Sultan dan para Menteri, penolong para fakir miskin, yang
berbahagia lagi syahid, cemerlangnya symbol negara dan agama, Malik
Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan
RahmatNYA dan keridhaanNYA, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat
pada hari Senin 12 Rabiul Awwal tahun 822 H”
Menurut
literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan.
Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat
tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan
daun-daunan tertentu.
Sifatnya
lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik
sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh
masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah
yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong
masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang
setia.
Sebagai
misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih
awam sekali, beliau tidak menerangkan Islam secara “njlimet”. Kaum bawah
tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang
mereka dapat dipanen lebih banyak lagi. Sesudah itu mereka dianjurkan
bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah swt.
Di
kalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal,
terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu
membagi masyarakat menjadi empat kasta; Kasta Brahmana, Ksatria, Waisya,
dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah yang paling
rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi.
Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang
di dalam Islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik.
Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua
manusia sama sederajat. Orang Sudra boleh saja bergaul dengan kalangan
yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua manusia
adalah sama, yang paling mulia di antara mereka hanyalah yang paling
takwa kepadaNYA.
Takwa
itu letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan
manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah
dan menjauhi segala laranganNYA.
Dengan
takwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat
kelak. Orang bertakwa sekalipun dia dari kasta Sudra bisa lebih mulia
daripada mereka yang berkasta Ksatria dan Brahmana.
Mendengar
keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa
lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia
utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam
dengan suka cita.
Setelah
pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk
beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau
mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja Carmain.
Dan
untuk mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat meneruskan
perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa dan seluruh Nusantara
maka beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan
Islam, tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon
mubaligh.
Pendirian
Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan
masyarakat Hindu yaitu para Bikhu dan Pendeta Brahmana yang mendidik
cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
Inilah
salah satu strategi para Wali yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu
yang mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi
secara frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan bentuk Pesantren
yang mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha tersebut
untuk menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari
pesantren Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh
Nusantara.
Tradisi
Pesantren tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang, dimana para
ulama menggodok calon mubaligh di pesantren yang diasuhnya.
Bila
orang bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak
menjawab dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan
gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan
dengan mudah, tidak dipersulit, ummat harus dibuat gembira, tidak
ditakut-takuti.
Seperti
tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles;
pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya;”Apakah yang
dinamakan Allah itu?”
Beliau
tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala sorga
bagi hambaNYA yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba
yang membangkang kepadaNYA.
Jawabannya cukup singkat dan jelas, yaitu,”Allah adalah Zat yang diperlukan adaNYA”.
Dua
tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau
tidak hanya membimbing ummat untuk mengenal dan mendalami agama Islam,
melainkan juga memberi pengarahan agar tingkat kehidupan masyarakat
Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan
mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk.
Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi
subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan
mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andaikata
Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan
taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan
baik dan tenang. Sebagaimana sabda nabi bahwa kefakiran menjurus pada
kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika
sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang
harus ditiru.
Tamu dari Negeri Cermain
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim. Dia telah berhasil
mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik adalah bagian dari
wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara
Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di
belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya.
Untuk menghindari hal itu muka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.
Hal
itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja
Cermain juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin
mengajak Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 Masehi Raja
Cermain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri
Raja Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah
untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal
agama Islam.
Bersama
Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu
menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya
bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis.
Bahwa dia bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya
sebagai istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila
ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragama seperti itu hanya akan
merusak keagungan agama Islam.
Rombongan
dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di
Leran sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang.
Sungguh
sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu banyak anggota
rombongan dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak di
antara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.
Kabar
kematian Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang
memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian
menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke Desa Leran. Brawijaya
sang Raja Majapahit itu memerintahkan kepada para ponggawa kerajaan
untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran.
Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan.
Setelah
rombongan dari negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu
Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik
Ibrahim untuk diperintah sendiri di bawah kedaulatan Majapahit.
Penyerahan
daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang
beragama Islam itu tidak berontak kepada rajanya yang masih beragama
Hindu.
Amanat
raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan suka
rela. Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun
dengan kafir zimmi yaitu orang-orang yang bukan muslim yang mau hidup
berdampingan dengan aman dalam satu negara.
Demikianlah
sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang
dianggap sebagai ayah dari Walisongo. Beliau wafat di Gresik pada tahun
882 H atau 1419 M.
2. Sunan Ampel
Asal-usul
Kenalkah
anda dengan daerah Bukhara? Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak
dahulu daerah Samarqand ini dikenal sebagai daerah Islam yang menelorkan
ulama-ulama besar seperti sarjana hadits terkenal yaitu Imam Bukhari
yang mashur sebagai pewaris hadits sahih.
Di
Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumail
Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang
putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka Ibrahim
kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Orang Jawa sangat sukar
mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh
Ibrahim Asmarakandi.
Syekh
Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh
Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia.
Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil menantu oleh
raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi
Candrawulan.
Negeri
Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai
(Thailand). Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim
Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan
Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi
Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian
keduanya adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan
atau pangeran kerajaan. Para Pangeran atau bangsawan kerajaan pada waktu
itu mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses
selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat Raden.
Raja
Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya
dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga istri-istri lainnya
diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar
di seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi
Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di
Palembang.
Ketika
Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang
hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina
itu sampai si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian
itulah yang nantinya bernama Raden Hasan atau lebih dikenal dengan nama
Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak
Bintoro.
Kerajaan
Majapahit sesudah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk
mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena
terjadinya perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi
kepada keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya.
Pajak
dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit. Lebih
sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat Prabu
bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum
bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta
mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu
diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan
kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu
Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati
suaminya. Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada
suaminya. “Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal
mengatasi kemerosotan budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.
“Betulkah?”
tanya sang Prabu. “Ya namanya Sayyid Ali Rahmatullah. Putra dari kanda
Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan
meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke
Majapahit ini”.
“Tentu
saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia
mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini”, kata Raja
Brawijaya.
Ke Tanah Jawa
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negri
Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.
Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh Raja Cempa, dan raja
Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan
pengalaman.
Keberangkatan
Sayyid Ali Rahmat ke Tahan Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah
dan kakaknya sebagaimana disebutkan di atas. Ayah Sayyid Ali Rahmat
adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali
Murtadho. Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan
mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh
Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau
dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang
Kabupaten Tuban.
Sayyid
Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling ke
daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau
mendapat sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik
mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik.
Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap
Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Kapal
layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu. Kedatangannya
disambut dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi. Lebih lebih lagi Ratu
Dwarawati bibinya sendiri, wanita itu memeluknya erat erat seolah sedang
memeluk kakak perempuannya yang berada di istana Kerjaan Cempa. Wajah
keponakannya itu memang mirip dengan kakak perempuannya.
“Nanda
Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik
kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia?”
tanya sang Prabu setelah Sayyid Rahmatullah beristirahat melepas
lelah. Dengan sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus Sayyid
Ali Rahmatullah menjawab,”Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan
berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik
mereka”.
“Bagus!”
sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah
berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para
bangsawan dan pageran Majapahit agar berbudi pekerti mulia”.
“Terima
kasih saya haturkan Gusti Prabu”,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah
menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah
putri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila.
Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran
Majapahit, karena dia adalah menantu raja Majapahit.
Semenjak
Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya, maka beliau
adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran.
Para pangeran pada jaman dulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau
Raden yang berarti Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan
sebutan Raden Rahmat.
Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan
Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan
Ampeldenta.
Rombongan
itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama
dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang
dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik. Beliau
membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan
tertentu dan dianyam rotan. Kipas-kipas itu dibagi-bagikan kepada
penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya
dengan kalimah syahadat.
Penduduk
yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka
mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama
rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit
batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan
kepada Raden Rahmat. Pada saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan
agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Cara
itu terus dilakukan hingga rombongan memasuki desa Kembangkuning. Pada
saat itu wilayah desa Kembangkuning belum seluas sekarang ini. Di
sana-sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan
karomahNYA, Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan
tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang tersebut
sekarang telah dirubah menjadi Masjid yang cukup besar dan bagus,
dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid Rahmat
Kembangkuning.
Di
tempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh
masyarakat yaitu: Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh
masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut
Raden Rahmat.
Dengan
adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat
untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama
kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama.
Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberi pengertian
sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika mereka
sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka
secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang
bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah
sampai di tempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah
membangun Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang
telah dilakukan Nabi Muhammad saw saat pertama kali sampai di Madinah.
Dan
karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah
tersebut maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal
dari kata Susuhunan, artinya Yang dijunjung Tinggi atau panutan
masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata
Suhu Nan artinya Guru Besar atau Orang Yang Berilmu Tinggi.
Selanjutnya
beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan
pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada
beliau.
Ajarannya yang terkenal
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau Tidak Mau Melakukan Lima Hal tercela yaitu:
1. Moh Main atau Tidak Mau Berjudi
2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak atau Bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
4. Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain
5. Moh Madon atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya
Prabu
Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja
menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka
ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam
maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak
untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang
terakhir di Majapahit.
Raden
Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan
di seluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh
dipaksa. Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan
dalam beragama.
Sesepuh Walisongo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat
sebagai sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se
Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi
anggota Walisongo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan
Kudus, Sunan Gunungjati.
Raden
Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Walisongo
menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan
diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh
kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan
dengan pihak Majapahit.
Para
wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam
tempo secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah
tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan
besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam. Tak usah diserang oleh
Demak Bintoro pun sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali
yang lebih muda menganggap Sunan Ampel telah lamban dalam memberikan
nasehat kepada Raden Patah.
“Mengapa
Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah terhitung menantunya
sendiri. “Karena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh
Raja Demak Bintoro yang masih putra Majapahit Prabu Kertabumi telah
berlaku durhaka yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”, jawab
Sunan Ampel dengan tenang.
“Lalu
apa yang harus saya lakukan?” “Kau harus sabar menunggu sembari
menyusun kekuatan,” ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit akan
runtuh dari dalam. Diserang adipati lain. Pada saat itulah kau berhak
merebut hak warismu selaku putra Prabu Kertabumi”.
“Majapahit
diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkewajiban membelanya?”
“Inilah ketentuan Tuhan,” sahut Sunan Ampel. “Waktu kejadiannya masih
dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah peristiwa itu akan
berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit
itu”, Sunan Ampel adalah Penasehat Politik Demak Bintoro. Sekaligus
merangkap Pemimpin Walisongo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka
fatwanya dipatuhi banyak orang.
Kekuatiran
Sunan Ampel tersebut memang terbukti. Di kemudian hari ternyata ada
orang-orang pembenci Islam memutarbalikkan fakta sejarah. Mereka
menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro
yang Rajanya adalah putra Raja Majapahit sendiri. Dengan demikian Raden
Patah dianggap sebagai Anak Durhaka. Ini dapat anda lihat di dalam
Serat Darmo Gandul maupun sejarah yang ditulis para Sarjana yang
membenci Islam.
Raden
Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan
Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun 1478. Sunan Kalijaga
diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak. Sunan Giri diangkat
sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para Wali dan
pemimpin agama se-Tanah Jawa. Sesepuh yang selalu dimintai
pertimbangannya. Setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya
terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia menyetujui usul Aliran Tuban
untuk mencari fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.
Mengapa
Sunan Giri bersikap demikian? Karena pada tahun 1478 Kerajaan
Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari
Kadipaten Kediri atau Keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan
Giri menyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah
tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putera Raja
Majapahit yang terakhir.
Demak
kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan
dilancarkan, Prabu Rana Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara
pada tahun 1498.
Pada
tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam
kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan Giri
Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu Udara kawatir jika terjadi
peperangan akan menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan
minta bantuan Portugis di Malaka. Padahal Putera Mahkota Demak yaitu
Pati Unus pada tahun 1511 telah menyerang Portugis di Malaka.
Sejarah
mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untuk
menemui Alfonso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta
(gamelan), sepotong kain panjang bernama Beirami tenunan Kambayat, 13
batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah
jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta
Majapahit secara tidak sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan
Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentu bangsa
Portugis akan menjajah tanah Jawa jauh lebih cepat daripada bangsa
Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak
Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya. Raden Patah diangkat sebagai Raja
Demak yang pertama.
Sunan
Ampel juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan
pada tahun 1477 M. Salah satu di antara empat tiang utama Masjid Demak
hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu
Sunan Ampel.
Beliau
pula yang pertama kali menciptakan Huruf Pegon atau Tulisan Arab
berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf pegon ini beliau dapat menyampaikan
ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga sekarang huruf pegon tetap
dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan pesantren.
Penyelamat Akidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat berhati-hati,
hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah
tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada
waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti
selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa
keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan
Ampel “Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat
dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari
agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?”
Dalam
musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,”Saya
setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang
masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya
warna Islam. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus
kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal gamelan dan
wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera
masyarakat. Adapun tentang kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya
mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang
menyempurnakannya.”
Sebaliknya,
adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan
dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki,
sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama
secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan
Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah
menyelamatkan aqidah ummat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.
Murid-murid Sunan Ampel
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan
dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan
beberapa anggota Walisongo adalah murid-murid beliau sendiri.
Kali ini kami tampilkan dua kisah murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan, yaitu:
Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan.
Adalah
sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia dikubur
hingga sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Di
sebelah timur Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan
kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan
Ampel yang bernama Mbah Soleh.
Kisahnya
demikian, Mbah Soleh adalah tukang sapu masjid Ampel di masa hidupnya
Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid sangatlah bersih sekali
sehingga orang yang sujud di masjid tanpa sajadah tidak merasa ada
debunya.
Ketika
Mbah Soleh wafat beliau dikubur di depan masjid. Ternyata tidak ada
santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu
lantai masjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh
masjid itupun lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata
Sunan Ampel. “Bila Mbah Soleh masih hidup tentulah masjid ini menjadi
bersih”.
Mendadak
Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang menyapu lantai. Seluruh
lantai pun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran
melihat Mbah Soleh hidup lagi.
Beberapa
bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya
dulu. Masjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel
seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa
kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada
delapan Sunan Ampel meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh
meninggal dunia, sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan yang
terakhir berada di ujung paling timur.
Jika anda sempat berziarah ke makam Sunan Ampel, jangan lupa untuk berdo’a di depan makam Mbah Soleh.
Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar
kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid
Sunan Ampel yang juga mempunyai karomah.
Kisahnya
demikian. Pada waktu pembangunan masjid Agung Ampel, Sonhaji lah yang
ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Sonhaji bekerja dengan
tekun dan penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman masjid itu
tidak menghadap ke arah kiblat. Tapi setelah bangunan pengimaman itu
jadi banyak orang yang meragukan keakuratannya.
“Apa
betul letak pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?” demikian
tanya orang yang meragukan pekerjaan Sonhaji. Sonhaji tidak menjawab,
melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu
berkata,”Lihatlah ke dalam lubang ini, kalian akan tahu apakah
pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?”
Orang-orang
itu segera melihat ke dalam lubang yang dibuat Sonhaji. Ternyata di
dalam lubang itu mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di Mekah.
Orang-orang pada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak berani
meremehkan Sonhaji lagi. Dan sejak saat itu mereka lebih bersikap hormat
kepada Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.
Dari kisah
karomah para wali ataupun para murid wali, seyogyanya menjadi pelajaran
bagi mereka yang masih hidup. Ambil contoh, kisah Mbah Soleh di atas,
seharusnya mereka yang masih hidup mau meneladani sifat dan sikap Mbah
Soleh yang menyukai Masjidnya selalu bersih, karena masjid merupakan
tempat yang perlu dijaga kebersihan dan kesuciannya.
Begitulah
riwayat singkat Sunan Ampel dan 2 orang muridnya. Semoga kisah mereka
bisa menjadi pelajaran hidup bagi kita sebagai generasi penerus mereka,
dan semoga amal baik mereka mendapat balasan yang baik dari Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.
3. Sunan Giri
Di
awal abad 14 M, Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak
Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan
Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang
memeluk agama Budha.
Pada
suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya,
pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa
bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati
tapi sang putri belum juga sembuh.
Memang
pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah
penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah
Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka
cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Atas
saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu kemudian mengadakan sayembara,
siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan siapa
yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai
Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok negeri.
Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada
seorang pun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara
itu.
Permaisuri
makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya
dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna
mengobati penyakit putrinya. Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih
Bajul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya
tinggal di puncak atau di lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih
Bajul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Patih
Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui
adanya seorang tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud
adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara
sembunyi-sembunyi di negeri Blambangan.
Patih
Bajul Sengara dapat bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang
bertafakkur di sebuah goa. Setelah terjadi negosiasi bahwa Raja dan
rakyat Blambangan mau diajak memeluk agama Islam maka Syekh Maulana
Ishak bersedia datang ke istana Blambangan. Ia memang piawai di bidang
ilmu ketabiban, putri Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pegebluk
juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh
Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai
Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
Hasutan Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di
Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk
Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak
henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya.
Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui hal ini.
Patih
Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan
teror pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk
Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa
kembali kepada agama lama. Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia
dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui
juga.
Pada saat
itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar,
bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya
tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya.
Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk pergi meninggalkan
Blambangan.
Demikianlah,
pada tengah malam, dengan hati berat karena harus meninggalkan istri
tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat
meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar
prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk
wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak. Tentu
saja Patih kecele, walau seluruh isi istana diobrak-abrik dia tidak
menemukan Syekh Maulana Ishak yang sangat dibencinya.
Dua
bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang
elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa
senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan
itu. Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya
terang.
Lain
halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu mendapat
limpahan kasih sayang keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah
itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah
penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara bikin
ulah lagi.
“Bayi
itu! Benar gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana
di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal
di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa
bayi itu!” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang
Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia
terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada
bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang
Prabu terpengaruh juga.
Walau
demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu
secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari akhirnya
dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samodra.
Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat
Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba
terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur
pun tak bisa.
Nakhoda
memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu,
mungkinkah perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa ternyata
perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah. Seperti peti milik
kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nakhoda
memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua
orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang
bertubuh montok dan rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan
jiwa bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi
itu ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperi kemanusiaan.
Nakhoda
kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau
Bali. Tapi perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan
diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.
Di
hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal Nakhoda berkata
sambil membuka peti itu. “Peti inilah yang menyebabkan kami kembali
dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau
Bali,” kata sang Nakhoda.
“Bayi…?
Bayi siapa ini?”, gunam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu
dari dalam peti. “Kami menemukannya di tengah samodra, Selat Bali,
jawab Nakhoda kapal.
Bayi
itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil
sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak.
Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinatih
kemudian memberinya nama Joko Samodra.
Ketika
berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk
berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut
beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya
dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar
anak itu mondok saja di Pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi
dalam mempelajari agama Islam.
Pada
suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu
guna melaksanakan shalat tahjuud mendoakan murid muridnya dan mendoakan
ummat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat
menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba
Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang
santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu
menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar
itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada murid itu.
Esok
harinya, sesudah shalat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya
itu. “Siapa di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada
ikatan?” tanya Sunan Ampel. “Saya Kanjeng Sunan…” acung Joko Samodra.
Melihat
yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa
anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai
Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan itu
digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko
Samodra.
Nyai
Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra ditemukan di
tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk
membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai
Ageng Pinatih.
Teringat
pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka
Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak
itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja
apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat
dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran
Majapahit itu.
Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab
bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim.
Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling
mengingatkan.
Setelah
berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba
pengetahuan yang lebih tinggi di Negeri Seberang sambil meluaskan
pengalaman.
“Di
negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada
ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu
yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah
ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para
santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak
bagi kehidupanmu di masa yang akan datang”.
Pesan
itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu
sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan
bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah
melihat anaknya sejak bayi.
Raden
Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di
tengah samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih
dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya
Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat
berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang
sangat dicintainya.
Raden
Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan menangisi
kemalangan dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak
Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya
berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di
negeri Pasai banyak ulama besar dari negara asing yang menetap dan
membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak
disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda
itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri
maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada
yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu
yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah
tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari
ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Baghdad dan Gujarat yang banyak menetap
di negeri Pasai.
Ilmu
yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehiduapn Raden Paku
dalam perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai
ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama
yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya
gelar Syekh Maulana A’inul Yaqin.
Setelah
tiga tahun di Pasai, dan masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh
Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah
Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi
tanah. “Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik,
carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah
kau membangun Pesantren”, demikian pesan ayahnya.
Kedua
pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala
pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintah Makdum Ibrahim
berdakwah di daerah Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang ke
Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk
mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini
diterimanya dengan senang hati. Nakhoda dapat diserahkan kepada pelaut
kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu
Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku
untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga
buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh
muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu terjual habis di Pulau Banjar
maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari Pulau Banjar
yang sekiranya laku di Pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas, dan
lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat
ganda. Tapi kali ini tidak, sesudah kapal merapat di pelabuhan Banjar,
Raden Paku membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara
gratis kepada penduduk setempat. Tentu saja hal ini membuat Abu
Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku.
“Raden …kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa
barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?” “Jangan kawatir
paman”, kata Raden Paku. “Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk
Banjar pada saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan
dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil
keuntungan dari mereka. Sudahkah ibu memberikan hartanya dengan
membayar zakat kepada mereka? Saya kira belum, nah sekarang lah saatnya
ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri”.
“Itu
diluar kewenangan saya Raden”, kata Abu Hurairah. “Jika kita tidak
memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng
dihantam ombak dan badai?” Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah
maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau
perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada
uang dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.
“Paman
tak usah risau”, kata Raden Paku dengan tenangnya “Supaya kapal tidak
oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir”. Memang benar,
mereka dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat.
Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan
kapal untuk menghadap Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan
Abu Hurairah memang tepat. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi
mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu.
“Sebaiknya ibu lihat dahulu!” pinta Raden Paku. “Sudah jangan banyak
bicara, buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung
kita saja!”, hardik Nyai Ageng Pinatih. Tetapi ketika awak kapal membuka
karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah
menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar,
seperti rotan, damar, kain, dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya
jauh lebih besar ketimbang barang dagangan yang disedekahkan kepada
penduduk Banjar.
Perkawinan Raden Paku
Alkisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul.
Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan
rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang
berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa
penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika
Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul.
Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu
jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku, dan ia berkata,”Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah”.
Memang,
Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat
memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan
putrinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal
itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
“Tak
usah bingung, Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik. Aku yakin
Dewi Wardah juga muslimah yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat
Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu”,
demikian kata Sunan Ampel.
“Tapi…bukankah
saya hendak menikah dengan putri Kanjeng Sunan yaitu Dewi Murtasiah?”,
ujar Raden Paku. “Tidak mengapa”, kata Sunan Ampel. “Sesudah
melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan
melangsungkan perkawinanmu dengan Dewi Wardah”.
Itulah
liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua
kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng
Bungkul seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya
terawat baik di Surabaya.
Sesudah
berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar
pulau. Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan agama Islam pada
penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan
Nusantara.
Lama-lama
kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia ingin
berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok
pesantren. Iapun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia
perdagangan. Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan.
Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan
menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan Abu Hurairah orang
kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk
mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas
melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah
Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam, beliau
tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku
bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan
Kebomas.
Usai
bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di
negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang
tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui
desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang hawanya
sejuk, hatinya terasa damai, iapun mencocokkan tanah yang dibawanya
dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa
Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu
adalah dataran tinggi atau gunung, maka dinamakan-lah Pesantren Giri.
Giri dalam bahasa Sansekerta artinya gunung.
Atas
dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan
Ampel, tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri
sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
Di
muka telah disebutkan, bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan
Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh
Nusantara. Menurut Dr. HJ. De Graaf, sesudah pulang dari
pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri
kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia
menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang
ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana karena di kalangan
masyarakat dibicarakan adanya Giri Kedaton (kerajaan Giri). Murid-murid
Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura,
Lombok, Makasar, Hitu, dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut
Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir
di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina
dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai
ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping
pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah
dan pembentukkan iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh
beliau juga membangun asrama yang luas.
Di
sekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk
dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri
masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber
air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu
melakukannya.
Peresmian Masjid Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar
dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya
masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit
binatang.
Usul
Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar
manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan
Giri.
Jika Sunan
Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan membuka
pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul
boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan
agar Masjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan
shalat jamaah Jum’at.
Sunan
Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan
Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit
sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi,
lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan
Kalijaga membawa wayang kreasinya itu di hadapan sidang para Wali.
Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri
menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan
bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri,
karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting
itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan
Sang Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan Giri yang
menata.
Maka
perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu
akan diawali dengan shalat Jum’at, kemudian diteruskan dengan
pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki Dalang Sunan Kalijaga.
Jasa-jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama
Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri
sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang
ditugaskan ke luar pulau.
Beliau
pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar,
seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme
dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan
demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang
bertentangan dengan faham ahlus sunnah wal jama’ah.
Keteguhannya
dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak
positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah
Islam yang sesuai ajaran Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan atau adat
istiadat lama.
Di
bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang
pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang
menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam
antara lain: Jamuran, Cublak Cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Diantara
permainan anak-anak yang dicintainya ialah sebagai berikut: Di antara
anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya
menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila
telah berpegang pada tonggal atau batang pohon yang telah ditentukan
lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan
tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam
Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang
dilambangkan sebagai pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan:
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”.
(Malam
terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di
halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang
lari terbirit-birit)
Maksud lagu dolanan tersebut ialah:
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut
penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama
Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan
kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487
hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu
Satmata.
Pengaruh
Sunan Giri ini sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila
seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan
dari Sunan Giri.
Giri
Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun.
Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal dunia beliau digantikan anak
keturunannya yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturuanan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.
Pangeran
Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan
Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan kapten Jonker. Serbuan ke Giri
itu adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh
Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah
menjungkirbalikkan Kraton Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja di
Kediri.
Pemberontakan
Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan sewenang-wenang dari Sunan
Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama Ahlus sunnah
wal jama’ah yang dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan rakyat terhadap
raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi kaki tangan
Sunan Amangkurat I, mereka adalah para pengikut faham Manunggaling
Kawula lan Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar yang
ditentang Walisongo.
Sesudah
Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri
Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri,
yang dirawat oleh juru kunci makam. Meski demikian kharismanya sebagai
ulama besar, wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa. Itu bisa Anda
buktikan dengan melihat jumlah para peziarah yang tiap hari membanjiri
makamnya.
4. Sunan Bonang
Brahmana dari India
Agama
Islam yang menyebar luas di Tanah Jawa cukup menggemparkan masyarakat
dari belahan dunia lain. Termasuk para pendeta Brahmana dari India.
Salah seorang Brahmana bernama Sakyakirti merasa penasaran. Maka bersama
beberapa orang muridnya ia berlayar menuju Pulau Jawa. Dibawanya pula
kitab-kitab referensi yang telah dipelajari untuk dipergunakan berdebat
dengan penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.
“Aku
Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan
adu kesaktian”, ujar Brahmana itu sembari berdiri di atas geladak di
buritan kapal layar. “Jika dia kalah maka akan kutebas batang lehernya.
Jika dia yang menang aku akan bertekuk lutut untuk mencium telapak
kakinya. Akan kuserahkan jiwa ragaku kepadanya”.
Murid-muridnya,
yang selalu berdiri dan mengikutinya dari belakang menjadi saksi atas
sumpah yang diucapkan di tengah samudera. Namun ketika kapal layar yang
ditumpanginya sampai di perairan Tuban, mendadak laut yang tadinya
tenang tiba-tiba bergolak hebat. Angin dari segala penjuru seolah
berkumpul jadi satu, menghantam air laut, sehingga menimbulkan badai
setinggi bukit.
Dengan
kesaktiannya Brahmana Sakyakirti mencoba menggempur badai yang hendak
menerjang kapal layarnya. Satu dua kali hal itu dapat dilakukannya
namun terjangan ombak yang kelima kali membuat kapal layarnya langsung
tenggelam ke dalam laut. Dengan susah payah dia mencabut beberapa
batang balok kayu untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang
muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar samudera.
Walaupun
pada akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri,
namun kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat
dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Padahal kitab-kitab
itu didapatkannya dengan susah payah. Cara mempelajarinya pun tidak
mudah. Ia harus belajar bahasa Arab terlebih dahulu, pura-pura masuk
Islam dan menjadi murid ulama besar di negeri Gujarat. Kini, setelah
sampai di perairan Laut Jawa, tiba-tiba kitab-kitab yang tebal itu
hilang musnah ditelan air laut.
Tapi
niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut. Ia
dan murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak pernah
dikenalnya. Ia agak bingung harus kemana untuk mencari Sunan Bonang. Ia
menoleh kesana kemari. Mencari seseorang untuk dimintai petunjuk jalan.
Namun tak terlihat seorang pun di pantai itu.
Saat
hampir putus asa, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seorang lelaki
berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Ia dan
murid-muridnya segera berlari menghampiri dan menghentikan lelaki itu.
Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan
tongkatnya ke pasir.
“Kisanak,
kami datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama
Sunan Bonang. Dapatkah Kisanak memberitahu dimana kami bisa bertemu
dengannya?” kata sang Brahmana. “Untuk apa tuan mencari Sunan Bonang?”,
tanya lelaki itu. “Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan”,
kata sang Brahmana. “Tapi sayang kitab-kitab yang saya bawa telah
tenggelam ke dasar laut. Meski demikian niat saya tak pernah padam.
Masih ada beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai bahan perdebatan”.
Tanpa
banyak bicara lelaki berjubah putih itu mencabut tongkatnya yang
menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang bekas tongkat
itu menancap, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.
“Itukah
kitab-kitab tuan yang tenggelam ke dasar laut?” tanya lelaki itu. Sang
Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar
miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga
siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Murid-murid
sang Brahmana yang sejak tadi sudah kehausan langsung aja menyerobot
air jernih yang memancar itu. Brahmana Sakyakirti memandangnya dengan
rasa kawatir, jangan-jangan muridnya itu akan segera mabok karena
meminum air di tepi laut yang pastilah banyak mengandung garam.
“Segar!
Aduh segarnya!”, seru murid-murid sang Brahmana dengan girangnya. Yang
lain segera berebutan untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Brahmana
Sakyakirti tercenung. Bagaimana mungkin air di tepi pantai terasa
segar. Ia mencicipinya sedikit. Memang segar rasanya. Rasa herannya
makin menjadi-jadi terlebih jika berpikir tentang kemampuan lelaki
berjubah putih itu dalam menciptakan lubang air memancar dan mampu
menghisap kitab-kitab yang telah tenggelam ke dasar laut. Pastilah orang
berjubah putih itu bukan orang sembarangan. Ia sudah mengerahkan
ilmunya untuk mendeteksi apakah semua itu hanya tipuan ilmu sihir?
Ternyata bukan! Bukan ilmu sihir, tapi kenyataan!.
Seribu
Brahmana di India tak mampu melakukan hal ini! Pikir sang Brahmana.
Dengan rasa was-was, takut dan gentar ia menatap wajah orang berjubah
putih itu. “Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?” tanya sang
Brahmana dengan hati kebat-kebit. “Tuan berada di pantai Tuban!” jawab
lelaki itu. Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri
berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah
lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
“Bangunlah
untuk apa kau berlutut kepadaku? Bukankah sudah kau ketahui dari
kitab-kitab yang kau pelajari bahwa sangat terlarang bersujud kepada
sesama makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan kepada Allah Yang Maha
Agung!” kata lelaki berjubah putih yang tak lain memang Sunan Bonang
adanya.
“Ampun!
Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan
mata, ampunkan saya…!”, rintih sang Brahmana. “lho?” Bukankah kau ingin
berdebat denganku juga mau mengadu kesaktian?”, tukas Sunan Bonang.
“Mana saya berani melawan Paduka, tentulah ombak badai yang menyerang
kapal kami juga ciptaan Paduka, kesaktian Paduka tak terukur tingginya.
Ilmu Paduka tak terukur dalamnya”, kata Brahmana Sakyakirti.
“Kau
salah, aku tidak mampu menciptakan ombak dan badai”, ujar Sunan
Bonang. “Hanya Allah yang mampu menciptakan dan menggerakkan seluruh
makhluk. Allah melindungi orang yang percaya dan mendekat kepadaNYA,
dari segala macam bahaya dan niat jahat seseorang!”
Sang
Brahmana merasa malu. Memang kedatangannya bermaksud jahat. Ingin
membunuh Sunan Bonang melalui adu kepandaian dan kesaktian.
Ternyata
niatnya tak kesampaian. Apa yang telah dibacanya dalam kitab-kitab
yang telah dipelajari terbukti. Bahwa barangsiapa memusuhi para
waliNYA, maka Allah akan mengumumkan perang kepadanya. Menantnag Sunan
Bonang sama saja dengan menantang Tuhan yang mengasihi Sunan Bonang itu
sendiri.
Ia
bergidik ngeri saat teringat bagaimana dirinya terombang-ambing
diterjang ombak badai, berarti Tuhan sendiri yang telah memberinya
pelajaran supaya mengurungkan niatnya memusuhi Sunan Bonang. Ia percaya,
jika niatnya dilaksanakan bukan Sunan Bonang yang kalah atau mati tapi
dia sendirilah yang bakal binasa.
“Kanjeng
Sunan, sudilah menerima saya sebagai murid…”, kata Brahmana itu
kemudian. “Jangan tergesa-gesa”, ujar Sunan Bonang. “Kau harus
mempelajari dan mengenal Islam lebih banyak lagi, lebih lengkap lagi.
Sebab apa yang kau pelajari hanya sebagian-sebagian saja. Jika kau sudah
memahami Islam secara keseluruhan maka kau boleh pilih, tetap memeluk
agama lama atau menerima Islam sebagai agamamu terakhir”.
Sekali
lagi sang Brahmana merasa malu. Ternyata Sunan Bonang bersifat arif
dan bijaksana, tidak memaksakan kehendak walau sudah berada di atas
angin. Seandainya Sunan Bonang memperbolehkannya untuk berlutut dia
akan bersujud dan menyembah sepasang kakinya.
“Bawa
semua kitab-kitabmu, mari isinya kita bahas bersama-sama”, kata Sunan
Bonang sembari melanjutkan langkahnya. Brahmana Sakyakirti dan
murid-muridnya segera mengumpulkan kitab-kitab yang tercecer lalu
mengikuti langkah Sunan Bonang.
Pada akhirnya ia dan murid-muridnya rela masuk Islam atas kesadarannya sendiri, dan menjadi pengikutnya yang setia.
Asal usulnya
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya
Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati
yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada
yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi.
Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran Majapahit
karena ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah menantu
Raja Majapahit.
Sebagai
seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama
se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.
Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam
secara tekun dan disiplin.
Sudah
bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat
daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang
besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan
dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku
sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah
seberang, yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh
Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada
para ulama besar yang banyak menetap di negeri Pasai. Seperti ulama ahli
tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab, dan Parsi atau Iran.
Sesudah
belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke
Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri
sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban, dan daerah Sempadan Surabaya.
Bijak Dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan
kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat
gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang
ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu
lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih
bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu.
Beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi,
sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para
pendengarnya.
Setiap
Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang
datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin
belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan
Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang
dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya
tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang
yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan
ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari
agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Murid-murid
Raden Makdum Ibrahim sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau
Bawean, Jepara, Surabaya, maupun Madura. Karena beliau sering
mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar
Sunan Bonang.
Karya Sastra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga
sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang
sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan
Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk
berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan
(tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang
biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk. Sedangkan
bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.
Di bawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang disebut Suluk Wragul.
Dhandhanggula
Sunan Bonang
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali
Wragul 2
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam
Wragul 3
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
Kuburnya Ada Dua
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita
segera disebar ke seluruh Tanah Jawa. Para murid berdatangan dari
segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang
terakhir.
Murid-murid
yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan jenazah beliau di pulau
Bawean. Tetapi murid-murid yang berasal dari Madura dan Surabaya
menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat ayahandanya yaitu Sunan
Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenazah
mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan milik
orang Bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada
malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep
untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut
jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya.
Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal satu.
Kapal
layar segera bergerak ke arah ke Surabaya. Tetapi ketika berada di
perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya
tidak bisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang dimakamkan
di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.
Sementara
kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya.
Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh hikmat.
Dengan
demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah karomah atau kelebihan
yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan
di antara murid-muridnya.
Sunan
Bonang wafat pada tahun 1525. Makam yang dianggap asli adalah yang
berada di kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak diziarahi
orang dari segala penjuru Tanah Air.
Diusir Dari Kadipaten
Sunan Kalijaga
itu aslinya bernama Raden Said. Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung
Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau
dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur
sendiri sudah masuk agama Islam.
Sejak
kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru
agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau
lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa
Raden Said berontak.
Gelora
jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktik
oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau
rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita
dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus
membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk
persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik
pajak.
Walau
Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang
bebas, yang tidak terikat oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar
bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari
yang paling bawah hingga paling atas. Justru karena pergaulannya yang
supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.
Niat
untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya.
Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahami posisi
ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah
padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya
sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur’an maka sekarang dia
keluar rumah.
Di
saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil
sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke
Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat
membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
Tentu
saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang
menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walaupun mereka tak pernah tahu
siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebab Raden Said melakukannya
di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan
hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit
itu. Penjaga Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya
makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan
Majapahit itu makin berkurang.
Ia
ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang
itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah
rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya
benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga
gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri
itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.
Untuk
melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kawatir
dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang
saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil
bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden
Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan.
Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan
tiga orang prajurit Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang
dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.
Adipati
Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak
menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak
disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi
untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri
itu baru pertama dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk
dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari,
tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah
diterimanya?
Sesudah
keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak
pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang
dilakukan Raden Said selanjutnya?
Dia
mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok
harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang
pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.
Harta
hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang
yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik
jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada
seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said
menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan
pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng
seperti topeng Raden Said juga.
Pada
suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isya’
mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah
perampok.
Dia
segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan
Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri.
Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis
cantik.
Raden
Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam
sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga
mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali.
Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.
Raden
Said berusaha menangkap perampok itu. Namum pemimpin rampok itu
berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan dipukul
bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada
saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan
diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi
panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk
dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala
desa.
Kepala
desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said.
Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi
terbungkam.
Sama
sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya
sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said
dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti
kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang
kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam membawa
Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak.
Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Raden Said yang selama ini
selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik
pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
“Pergi
dari Kadipaten Tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu
sendiri! Pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan
dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al Qur’an
yang sering kau baca di malam hari!”
Sang
Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said
yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban
ternyata telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala
harapan sang Adipati.
Hanya
ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu
Dewi Rasawulan, adik Raden Said, yang yakin bahwa Raden Said itu
berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji.
Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan,
tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten
Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata
ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan
Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa
disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah
dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat.
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.
Pada
suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari
jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang
tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua berjubah
putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi
direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena
tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh
tersungkur.
Dengan
susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau
tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang
mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu
bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan
sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas.
Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu,”Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan”.
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi”.
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?”, tanya Raden Said heran. “Ya,
memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan.
Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk
suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!”, jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu. “Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?” “Saya menginginkan harta”, “Untuk apa?” “Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita”. “Hem, sungguh mulia hatimu, sayang… caramu mendapatkannya yang keliru” “Orang tua… apa maksudmu?” “Boleh aku bertanya anak muda?”, desah orang tua itu. “Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya menambah kotor dan bau pakaian itu saja”.
Lelaki itu tersenyum. “Demikian
pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat
secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian
dengan air kencing”.
Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya,”Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal”.
Raden
Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai
menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini.
Dipandangnya
sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun
mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada
lelaki berjubah putih itu.
“Banyak
hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan
rakyat saat itu. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan
makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan
para penguasa yang zalim agar mau berubah caranya memerintah yang
sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat
meningkatkan taraf kehidupannya!”.
Raden Said makin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. “Kalau
kau mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah
maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!”
Berkata
demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon
itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said
terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman
yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya.
Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu
mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi,
setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap masih menjadi
emas. Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa
heran dan penasaran. Ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu
sehingga mampu merubah pohon aren menjadi emas?
Selama
beberapa saat Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba
memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhya. Ia
ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan
itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden
Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
Ketika
ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau
seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang
berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
Ucapan
orang tua itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan
barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing.
Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden
Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari
cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.
Sepertinya
santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah
bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi,
demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di
belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki
berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said
melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada
jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus
menyeberang.
“tunggu… “, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi. “Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid…”, pintanya. “Menjadi muridku?”, tanya orang itu. “Mau belajar apa?” “Apa saja asal Tuan menerima saya sebagai murid…” “Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya?” “Saya bersedia…”
Lelaki
itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said
diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum
lelaki itu kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima syarat ujian
itu.
Selanjutnya
lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak
heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan
saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon
gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin
saja golongan para wali.
Setelah
lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila
dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur’an yaitu
kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya
ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam.
Doanya
dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun.
Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir
menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah
tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi
Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan azan,
pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh
Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian
dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena Lelaki berjubah putih itu
adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai
dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari
Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
Kalijaga artinya yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga
adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup di masa itu. Dijaga
maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada
ajaran Islam yang benar.
Ada
juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang
hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa
tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa
agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.
Raden
Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu
artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat
Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada
agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan
Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai.
Bahkan sedikit pun ia tak terkena percikan air sungai. Itu artinya
Sunan Bonang
dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan
identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri
Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah
usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten
Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang.
Kebetulan
saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok itu
mengenakan pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia
yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan
perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu
Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal
mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang Ibu tak pernah tahu
bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali
ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban,
melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
Untuk
mengobati kerinduan sang Ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan
ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya
dikirim ke istana Tuban.
Suara
Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding
istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan
isterinya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas
yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada
akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak
terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan isterinya menerima
kedatangan putra-putri yang sangat dicintainya itu.
Karena
Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya, akhirnya
kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra
Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden
Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan Islam di
Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam
berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru se Tanah
Jawa. Dari petani, pejabat, pedagang, bangsawan dan raja-raja dapat
menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap
Islami. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat
tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di
Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah.
Amin.
Sunan Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga)
Murid-murid Sunan Kalijaga
banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu
Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan
Syekh Domba.
Bupati
Semarang pada waktu itu bernama Ki Pandhanarang. Ia terkenal sebagai
seorang bupati yang kaya raya. Disamping sehari-harinya dikenal sebagai
seorang bupati, ia juga berbakat sebagai seorang pedagang. Nah, karena
mentalnya mental pedagang maka dia suka keluyuran keluar masuk pasar
setiap pagi.
Ia
pandai mengambil keuntungan dari setiap usahanya. Ia berdagang emas,
intan, permata hingga sapi, kerbau, dan kambing. Kekayaannya pada saat
itu sungguh diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak, anaknya
banyak dan relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar biasa
kuatnya. Tak ada seorang pun yang mampu menggoyangkannya bahkan pejabat
di tingkat pusat sekalipun. Sayang ada satu sifatnya yang tak baik
yaitu kikirnya setengah mati, kikir alias bakhil alias cethil bin
medhit!.
Ia
mempunyai beberapa kendaraan bagus dan jempolan. Pada jaman sekarang
bisa sekelas Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun pada saat itu
adalah seekor kuda terbaik dari Sumbawa. Nah, karena kuda dan sapinya
banyak maka tiap pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput segar
untuk santapan kuda dan sapinya.
Suatu
ketika di musim kemarau, para pegawainya yang bertugas mencari rumput
agak terlambat menyediakan santapan kudanya. Nah, pada saat itu
datanglah seorang penjual rumput memasuki halaman rumahnya. Umumnya pada
waktu itu sepikul rumput berharga dua puluh lima ketheng. Tapi ia
menawarnya dengan harga lima belas ketheng. Anehnya tanpa berbelit-belit
penjual rumput itu memberikannya begitu saja.
Esoknya
penjual rumput bercaping lebar itu datang lagi. Kali ini ia datang
lebih pagi dengan membawa rumput yang lebih segar dari kemarin. Bertanya
Ki Pandhanarang,”Pak Tua, sepagi ini kau sudah membawa rumput sesegar ini. Darimana kau memperolehnya?”. “Dari Gunung Jabalkat, Tuan…”, jawab si penjual rumput.
Ki
Pandhanarang merasa heran, sebab Gunung Jabalkat adalah tempat yang
sangat jauh sekali. Setelah rumput itu dibayar seperti harga kemarin
orang itu tidak segera beranjak pergi.
“Hei Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?”. “Hamba ingin minta sedekah Tuan”.
Ki Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa menoleh ia lemparkan seketheng
di hadapan kaki si penjual rumput lalu ia beranjak pergi. Tapi si
penjual rumput buru-buru maju menghadang. “Hamba tidak minta sedekah uang, yang hamba minta adalah bedhug berbunyi di Semarang”.
Ki
Pandhanarang mendelik penasaran. Minta bedhug berbunyi di Semarang?
Itu sama halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan menyebarkan
agama Islam di Semarang. Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima waktu
saja sudah enggan melaksanakannya.
“Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua. Sudah ambil uang itu dan cepat pergi dari sini”. “Hamba tidak butuh uang. Dapatkah uang dan harta menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?”. Ki Pandhanarang merah wajahnya pertanda marah. “Hai
Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan harta. Dengan uang dan harta
itulah seseorang terangkat derajatnya dan dihormati semua orang”.
Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba
kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan
menjadi orang yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa
menghalalkan segala cara!”
“Pak
tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai
penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu,
anak istrimu tercukupi?”
“Soal
harta dan kebutuhan hidup hamba selalu ikhlas terhadap apa yang
diberikan Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali cangkul
hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah”
“huh!
Omonganmu semakin sombong saja pak Tua! Coba buktikan omong besarmu
itu! Jika memang terbukti aku akan berguru kepadamu, namun jika kau
hanya berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan hukuman
seberat-beratnya!”
Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan ucapanmu!”
Dengan
tenang penjual rumput itu menerima cangkul. Lalu diayunkannya pelan,
dan ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata.
Semua orang terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki Pandhanarang yang
mata duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak
menyadari lelaki penjual rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman
rumahnya.
Ki
Pandhanarang baru sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi.
Maka segera dikejarnya kemana orang itu pergi. Sebagai seorang lelaki
ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual rumput.
Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil menyusul
lelaki penjual rumput itu.
“Buat apa kau menyusulku? Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi bagimu?” tegur si penual rumput itu. “Bukan, bukan untuk itu saya kemari”. “Lalu apa maumu?” “Saya ingin berguru kepada Tuan” “Berguru? Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?”. “Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya gunakan untuk membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk membunyikan bedhug di Semarang?”. “Benar Tuan!”. “Berkorban dengan segala harta dan jiwa?”. “Saya bersedia…”. “Kalau
begitu kau harus menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai
teledor menegakkan shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid
dan memberikan hartamu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang
berhak menerimanya. Jangan sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali
hanya sekedarnya saja sebagai bekal ibadah. Orang berguru itu harus
meninggalkan rumah, maka jika segala hal yang kupesan tadi sudah kau
laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung Jabalkat”.
“Wahai Tuan yang arif dan bijaksana. Ijinkanlah saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku
adalah Sunan Kalijaga yang diperintah para dewan wali untuk mengajakmu
bergabung sebagai anggota Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar
yang telah dihukum mati”.
Mendengar
nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk
menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan
matanya.
Ki
Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total. Dulu pelit
sekarang menjadi dermawan sekali. Suka bersedekah. Ia juga yang
memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang.
Ia juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus
untuk digunakan sebagai bedhug.
Ia
membayar zakat sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan.
Ia menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Semua itu dilakukan dengan
ikhlas karena Allah. Bukan sekedar untuk publikasi agar namanya
terkenal. Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di
Gunung Jabalkat.
Salah seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi dirinya. “Baiklah,
kau boleh ikut tapi jangan membawa harta. Itulah pesan guruku, harta
hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur cita-cita kita”.
Keduanya
lalu berpakaian serba putih. Keduanya berjalan kaki ke Gunung
Jabalkat. Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa tongkat
biasa. Istrinya berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang
di dalam lubangnya diisi dengan emas dan permata.
Ki
Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan rampok, namun
karena ia tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja.
Sebaliknya, Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok. Tongkatnya
dirampas, isinya dikeluarkan dan dijadikan rebutan. Tiga perampok itu
bersorak kegirangan setelah mendapat emas dan permata milik Nyai
Pandhanarang. Sementara Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu. Ia
berteriak-teriak memanggil suaminya yang berjalan jauh di depan.
“Kakangmas…! Apakah kau sudah lupa pada istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah”. Konon karena peristiwa itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA.
Akhirnya
Nyai Pandhanarang dapat menyusul suaminya. Suaminya tidak kaget
mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa sejak berangkat
dari rumah, istrinya memang membawa emas dan permata. “Itulah, kau tidak mematuhi saran guruku. Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur kita. Sekarang kau berjalanlah di muka”.
Nyai
Pandhanarang kemudian berjalan di muka. Tidak berapa lama kemudian Ki
Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal sebagai Ki
Sambangdalan. “Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak belur!?”, demikian ancam Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”
jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu tidak percaya, kemudian ia
merampas tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada
emasnya karena hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana kau sembunyikan hartamu?” hardik Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”,
jawab Ki Pandhanarang sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan
membiarkan saja korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi
tidak berani memukuli Ki Pandhanarang.
Ki
Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang berjalan sambil
terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan risih
mendengar ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia berkata,”Kau ini bengal, keras kepala seperti domba saja!”
Aneh,
seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala seekor domba
atau kambing. Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus mengukuti kemana Ki
Pandhanarang pergi. Suatu ketika keduanya sampai di tepi sungai. Melihat
air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, lalu ia
melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia. “Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku berubah menjadi domba??”. “Itu karena kesalahanmu sendiri”, ujar Ki Pandhanarang. “Kembalikan ujud kepalaku seperti semula…”,
pinta Ki Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak menjawab. Ki Sambangdalan
menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi.
Perjalanan pun sampai di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat. Tapi pada
saat itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah. Ki
Pandhanarang berujar bahwa jika Ki Sambangdalan ingin menjadi manusia
normal kembali, maka ia harus bertirakat dan bertobat. Untuk menebus
dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan) dengan air dibawah
bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki Sambangdalan sampai di
atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin kepalanya kembali
seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari dilakukannya pekerjaan
itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.
Pada
suatu hari Sunan Kalijaga datang ke tempat itu. Mereka bertiga segera
duduk bersimpuh. Secara ajaib kepala Ki Sambangdalan kembali seperti ke
ujud semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air tanpa ada
yang mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun ilmu
syariat dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang
diberi gelar Guru se-Tanah Jawa.
Akhirnya
mereka dapat mencapai tataran yang tinggi berkat ketekunan dan
kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan disebut dengan
gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah Bayat.
Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai
Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba.
Sunan
Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati Semarang tersebut untuk
menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati karena
dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran Walisongo. Setelah menjadi
wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah,
diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang
pembuat kue srabi. Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan kayu
bakar. Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue
srabi, karena laris kayunya habis. Majikannya marah-marah karena Sunan
Bayat tidak membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan
melayani para pembeli.
“Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?”, hardik si majikan.
Tanpa
pikir panjang lagi Sunan Bayat memasukkan tangannya ke dalam tungku
dapur dan tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api. Gemparlah hari itu.
Banyak orang melihat dengan kepala mata mereka sendiri, tangan Sunan
Bayat yang masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan api. Dan banyak pula
orang yang membeli kue srabi.
Setelah
tahu bahwa pelayannya adalah Sunan Bayat mantan bupati Semarang maka
penjual kue srabi itu minta ampun berkali-kali, akhirnya suami istri
penjual kue srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang setia.
6. Sunan Kudus
Asal-usul
Menurut
salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putra Raden Usman haji bergelar
Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang
Panolan ini sebelah utara kota Blora. Di dalam Babad Tanah Jawa,
disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro
yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati
Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari
Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji
kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya
sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu
putranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan
Demak hampir saja menderita kekalahan, namun melalui siasat Sunan
Kalijaga, dan bantuan pusaka (persenjataan) dari Raden Patah yang dibawa
dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang.
Keadaan ini tentu bukan semata-mata berkat siasat Sunan Kalijaga dan
bantuan pusaka Raden Patah, tetapi karena izin Allah, siasat itu dapat
merubah keadaan peperangan itu.
Selanjutnya
melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan
Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin
lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang
ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung
dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara
Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan
oleh pasukan Demak.
Guru-gurunya
Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq
juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai
Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama
asli kiai Telingsing adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama
dari negeri Cina yang datang ke pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal
Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah. Jenderal Cheng Hoo
yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk menjalin tali
persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.Di Jawa,
The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal
di sebuah daerah subur yang terletak di antara sungai Tanggulangin dan
Sungai Juwana sebelah timur. Di sana beliau bukan hanya mengajar agama
Islam, melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang
indah.
Banyak
yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden
Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari
Cina itu, Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat
Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai
cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Ja’far
Sodiq di masa selanjutnya yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang
kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
CARA BERDAKWAH YANG LUWES
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
Sunan
Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang
menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:
- Membiarkan
dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. Mereka
sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal
menghadapi masyarakat yang demikian.
- Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
- Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap
kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat
mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri
Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama
Islam.
- Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di
dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan
tetapi tidak mengeruhkan airnya.
- Pada akhirnya boleh saja merubah dan kepercayaan masyarakat
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak
menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang
sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non
muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tak
bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam. Hal itu tak
bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam secara
konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap
otomatis tingkah laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan
dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim.
Strategi dakwah
ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak
sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut
Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang
didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran
Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat dikompromosikan.
B. Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama
Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya
pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan
memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam
masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada
suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam
riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia,
dibawa para pedagang asing dengan kapal besar. Sapi itu ditambatkan di
halaman rumah Sunan Kudus.
Rakyat
Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu
apa yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam
pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para
Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa.
Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?
Apakah
Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan masyarakat yang
kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti
Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam
tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang
beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang
datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai”, Sunan Kudus membuka suara. “Saya
melarang sauadara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di
waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya,
hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya”.
Mendengar
cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum kagum. Mereka
menyangka Raden Ja’far Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka
bersedia mendengarkan ceramahnya. “Demi rasa hormat saya kepada
jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang
penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!”
Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan,”Salah
satu di antara surat-surat di dalam Al Qur’an yaitu surat kedua
dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah”, kata Sunan Kudus.
Masyarakat
makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al Qur’an, mereka jadi ingin
tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang
mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah,
sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk
mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk
Masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan
candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu,
yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.
Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab
dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna
mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
C. Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya
karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang
dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu.
Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak
mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa.
Sesudah
masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu
dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi
arca Kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran
Budha “Jalan berlipat delapan” atau “Asta Sanghika Marga”, yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya
itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa
Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat
berwudhu. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan
keterangan Sunan Kudus.
D. Selamatan Mitoni
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu
ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat
istiadat lama.
Seperti
diketahui, rakyat Jawa yang melakukan adat istiadat yang aneh, yang
kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di
kuburan untuk menunjukkan belasungkawa atau berduka cita atas
meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni,
dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual
itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam
bentuk Islami. Hal ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya,
bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah
acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa
bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anakanya
perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat
tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan
diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan
tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan
bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh
dibawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan
bila anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf,
dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa a.s. Untuk itu
sang ayah dan ibu perlu sering-sering membaca surat Yusuf dan surat
Mariam dalam Al Qur’an.
Sebelaum
acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya’ atau
sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga
sekarang acara pembacaan Layang Ambiya’ yang berbentuk tembang
Asmaradana, Pucung, dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat
pedesaan.
Berbeda
dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis
makanan, kemudian diikrarkan (dihajatkan) oleh sang dukun atau tetua
masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak
boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau di
tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah.
Ketika
pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu
beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu
dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus
yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga
bulan.
Sebelum
masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang
sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah
banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu.
Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan
syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah
menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum
terbina.
Maka
pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini
masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kainya waktu masuk masjid,
hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi
undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam
agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan
materi dengan cukup cerdik, yaitu ketika rakyat tengah memusatkan
perhatiannya kepada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah
terlalu lama, dan dikawatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri
ceramahnya.
Cara
tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya,
yaitu rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan
lain mereka datang lagi ke Masjid, baik dengan undangan maupun tidak,
karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada
syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih
dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan
demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu.
Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang
ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara
langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui
kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan
Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan
ajaran-ajaran agama Islam.
4. SUNAN KUDUS DI NEGERI MEKAH
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.
Sewaktu
berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan di sana
ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri Arab mengadakan
sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan
diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah
banyak orang mencoba tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus
atau Ja’far Sodiq mengahadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya
disambut dengan sinis.
“Dengan apa tuan melenyapkan wabah penyakit itu?” tanya sang Amir. “Dengan doa”, jawab Ja’far Sodiq singkat. “Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini”
“Saya
mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa
ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan”, kata Jakfar Sodiq.
“Hem, sungguh berani tuan berkata demikian”, kata Amir itu dengan nada berang. “Apa kekurangan mereka?”. “Anda sendiri yang menyebabkannya”, kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda
telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga
doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharap hadiah”. Sang Amir pun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar
Sodiq lalu dipersilakan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tidak
disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa
amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab
telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras
secara mendadak langsung sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir.
Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud
diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia
hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir
mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah Jawa, dipasang di
pengimaman masjid Kudus yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci.
Rakyat
kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha.
Para Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas
berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di
daerah itu. Karena Masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden
Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
5. TUGAS SEBAGAI SENOPATI
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk
tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu
tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau
sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga,
kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan
memangsa hewan ternak mereka.
Tapi
sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para
penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk
memeriksa, apakah benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama
ini ada harimaunya.
Dengan
senjata siap di tangan mereka siap menghadapi segala kemungkinan. Di
tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang
santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. “Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?” tanya tetua desa. “Tidak”, jawab lelaki berjubah putih itu. “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau pun”. “Aneh, semalaman kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus”, gunam tetua desa. “Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima”, kata lelaki berjubah putih.
Tetua
desa itu menurut, hingga sekarang tempat lelaki berjubah putih
bermalam itu dinamakan desa Sima. Lelaki berjubah putih itu kemudian
meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga
atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Pagi
itu udara masih terasa menggigit tulang. Seiring dengan langkah lelaki
berjubah putih dan tujuh orang pengikutnya yang makin mendekati ujung
desa Pengging tiba-tiba di udara nampak dua ekor gagak terbang sambil
mengeluarkan suara khasnya.
Adanya
suara burung gagak adalah lambang kematian, berarti akan ada sosok
manusia yang dicabut nyawanya oleh Sang Malaikat Maut. Siapakah orang
yang bakal mati hari ini? Siapa pula orang berjubah putih yang nampak
agung dan berwibawa itu? Mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya
dari belakang? Apa tujuan mereka ke desa Pengging? Pengging atau Pajang
pada beberapa tahun silam bukanlah sebuah desa terpencil. Pengging
adalah sebuah Kadipaten yang sangat terkenal karena Adipati
Handayaningrat yang memimpin adalah Putra Prabu Brawijaya Penguasa
Majapahit.
Adipati
Handayaningrat mempunyai dua orang putra lelaki. Yang pertama bernama
Kebo Kanigara, yang kedua Kebo Kenanga. Ketika sang Adipati meninggal
dunia, Kebo Kanigara mengembara tak ketahuan rimbanya. Sedang Kebo
Kenanga masuk Islam menjadi murid Syekh Siti Jenar. Tenggelam dalam alur
faham Siti Jenar sehingga pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi
Kadipaten warisan orang tuanya. Ia malah mengajak rakyatnya untuk hidup
wajar sebagai petani biasa.
Sungguh
mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging kemudian tersebar ke
penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dinding-dinding istana Demak
Bintoro, karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri Sultan.
Dan tentu saja tak pernah menyerahkan upeti pertanda setia dan tetap
tunduk kepada Demak Bintoro.
Karena
itu Raden Patah segera mengutus dua perwira utama untuk menengok Ki
Ageng Pengging. “Ki Ageng”, kata utusan itu setelah tiba di hadapannya.
“Sudah dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami
diperintahkan mengingatkan Andika, sebab Gusti Sultan sudah sangat
merindukan kehadiran Andika selaku saudaranya”.
Ki ageng Pengging menatap dua orang utusan itu dengan tajam. “Buat
apa seorang petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya bikin malu Sri
Sultan saja. Hai utusan kembali-lah dan katakan kepada Sri Sultan aku
tak dapat memenuhi panggilannya. Mohonkan ampun atas sikapku ini”.
Dua
orang utusan itu segera kembali ke istana Demak. Tak berapa lama
kemudian Ki Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber. Selepas shalat
Isya’ dalang pun segera memainkan lakon wayangnya. Penduduk
berduyun-duyun menyaksikan pertunjukan gratis itu.
Ketika
hampir muncul fajar sidik di ufuk timur. Tiba-tiba istri Ki Ageng
Pengging menggerang kesakitan. Ia merasa si jabang bayi akan segera
lahir. Ki Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk mengakhiri
pertunjukannya. Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng
Pengging. Ternyata yang lahir adalah laki-laki yang elok rupanya.
Ki Ageng Tingkir berkata kepada adik seperguruannya. “Adimas, karena anakmu lahir bertepatan dengan pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama Karebet”.
“Terima kasih atas kesediaan memberi nama anak ini”, ujar Ki Ageng Pengging. “Mudah-mudahan dia dapat meniru kegagahan dan watak satria Kakang”.
Ki Ageng Tingkir turut bergembira atas kelahiran putra adik
seperguruannya itu. Selama tiga hari ia menunggui kelahiran bayi itu di
Pengging. Sementara itu, Raden Patah mengatur siasat. Dua orang
utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng Pengging. Sekarang dia mengutus
Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging.
Ki
Wanapala adalah bekas Mahapatih Demak Bintoro yang sudah mengundurkan
diri. Kedudukannya telah digantikan anaknya sendiri. Namun ia masih
sering datang ke istana Demak jika diperlukan Raden Patah untuk dimintai
pertimbangan.
Namun patih senior ini juga tak mampu menjinakkan sikap Ki Ageng Pengging, ia pulang dengan tangan hampa.
Ki
Wanapala tak berpanjang kata. Ia segera kembali ke Demak. Melaporkan
segala apa yang didengarnya. Sri Sultan setuju atas keputusan Ki
Wanapala memberi tenggang waktu selama tiga tahun.
Namun
ketika tiga tahun lewat Ki Ageng belum menghadap ke Demak juga. Atas
nasehat para Wali, maka Sri Sultan mengirim utusan ketiga. Yang
ditugaskan kali ini adalah Sunan Kudus. Tugas kali ini harus tuntas.
Karena Sunan Kudus yang terkenal memiliki ilmu logika tinggi dan beribu
ilmu kesaktian itu terpilih menangani masalah ini. Sri Sultan tak perlu
mengirim utusan keempat lagi.
Walaupun
Sunan Kudus itu Panglima Perang Demak, tetapi para Wali melarangnya
menggunakan baju dan seragam militernya. Sunan Kudus disarankan agar
memakai pakian jubah putih sebab yang dihadapinya adalah seorang santri
desa.
Berangkatlah Sunan Kudus dengan iringan tujuh prajurit Demak pilihan yang juga menyamar sebagai para santri biasa.
Tiga
tahun memang telah berlalu dengan cepatnya. Ki Ageng Pengging tidak
pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah
mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak
diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam
dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar.
Walau
tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus
pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajuritnya masih setia
kepadanya, mereka menyembunyikan keperwiraannya di balik baju petani.
Tetapi sewaktu-waktu mereka bisa digerakkan jika diperlukan oleh Ki
Ageng Pengging.
Hal
ini disadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Itu sebanya Sri
Sultan memilih Sunan Kudus untuk menggali sang pembangkang yaitu Ki
Ageng Pengging ini.
Suasana
Kadipaten Pengging benar-benar lengang. Pagi itu penduduk banyak yang
pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten
tidak kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu
kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar. Bentuknya seperti
rumah penduduk lainnya.
Sunan
Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa.
Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap.
Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah
dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya
yang dibunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu
dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila
tidak mengeluarkan auman harimau berarti akan menemui kegagalan.
Di
depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita
setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud
kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging. “Maaf tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu”, kata pelayan itu. “Aku bukan tamu biasa”, kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging”.
Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang
dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya.
Sunan
Kudus dipersilakan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging
membuatkan minuman untuk menghormati tamu khusus itu. Tinggallah di
ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai
Ki Ageng, saya diperintah oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau
pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?”, tanya Sunan
Kudus. Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga
diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam, patih Demak Bintoro. “jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu”, kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya”.
Jawaban
itu bagi Sunan Kudus adalah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging
punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro
sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau
mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya.
Kasarnya pemberontak!
Bahwa
Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah
dihukum mati karena kesesatannya, Sunan Kudus ingin mengetahui apakah
Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syeikh Siti Jenar itu atau
sudah meninggalkannya sama sekali.
“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup”, kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya katakan itu? Saya ingin melihat buktinya”.
“Memang begitu!”, jawab Ki Ageng Pengging. “Kau
anggap apa saja aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau
anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang
aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan
kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!”
Klop
sudah! Ki Ageng Pengging masih memegang teguh ajaran Syekh Siti Jenar
yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilasafat serba Tuhan. Faham itu
adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para wali, sehingga
Syekh Siti Jenar dihukum mati.
Sunan
Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai
ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata
apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng
Pengging dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng, bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya”. “Jadi
itukah yang dikehendaki Sulatan Demak?. Baiklah, tidak ada orang mati
tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Bagiku hidup dan
mati tidak ada bedanya”. Ki Ageng Pengging berhenti sejenak, menatap dalam-dalam wajah Sunan Kudus. “Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati”. Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng. Ki Ageng menghela nafas panjang. “Tusuklah siku lenganku ini….!”,
ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya. Sunan Kudus pun
melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika
matilah Ki Ageng Pengging.
Sunan
Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang.
Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju
Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak
menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati
di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu
pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama
mengejar Sunan Kudus.
200
orang bekas prajurit dan perwira dipimpin bekas Senopati Kadipaten
Pengging mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus
dari kejauhan.
Sunan
Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan
prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging
mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di
sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap.
Orang Pengging kebingungan, tak tahu hars berbuat apa. Akal mereka
seperti hilang.
Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka disadarkan kembali dengan pengerahan ilmunya. “Jangan
turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan
selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu
berarti dia sengaja hendak memberontak! Nah, kalian rakyat kecil, tak
ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!”
Suara
Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk
Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi
adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu
macam kesaktian. Mereka tak kan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini”, kata Sunan Kudus. “Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian”
Orang-orang
Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke
rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus
dan tujuh pengikutnya segera kembali ke Demak.
Cita-cita
Ki Ageng Pengging agar anak turunannya menjadi Raja ternyata
kesampaian. Anaknya yang bernama Keberet itu diambil anak angkat oleh Ki
Ageng Tingkir dan setelah dewasa bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir
inilah yang bakal memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging
atau Pajang.
7. Sunan Drajad
Asal-usul
Nama
asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan
Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan
Bonang.
Raden
Qosim yang sudah mewarisi ilmu ayahnya kemudian diperintah untuk
berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar
antara Tuban dan Gresik.
Raden
Qosim mulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah
singgah di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu perahu
beliau tiba-tiba dihantam ombak yang besar sehingga menabrak karang dan
hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan nyawa, tapi bila Tuhan
belum menentukan ajal seseorang bagaimana pun hebatnya kecelakaan pasti
dia akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara
kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang kepadanya. Dengan
menunggang punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selamat hingga ke
tepi pantai.
Raden
Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga
berterima kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat.
(tentu maksudnya berterima kasih kepada Allah, katrena Allah telah
mengirimkan ikan talang itu menjadi media pertolongan Allah kepadanya).
Untuk itu beliau telah berpesan kepada anak keturunannya agar jangan
sampai makan daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan
mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang tiada lagi obatnya.
Ikan
talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk
wilayah desa Jelag (sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati),
kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat
setempat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden
Qosim adalah putra Sunan Ampel seorang Wali besar dan masih terhitung
kerabat keraton Majapahit.
Di
desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena caranya
menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang
berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim
mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1
kilometer, di sana beliau mendirikan surau langgar untuk berdakwah.
Tiga
tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun
tempat berdakwah yang strategis yaitu di tempat ketinggian yang disebut
Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang
dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di
sebelah barat Museum tersebut.
Raden
Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri.
Artinya, dalam berdakwah adalah pendukung aliran Putih yang dipimpin
oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah menyebarkan agama Islam,
beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus
diamalkan dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh
dicampur baur dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski
demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat
dakwah. Di dalam museum yang terletak di sebelah timur makamnya
terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa
tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam
catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang Wali
yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga
sangat rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang
dermawan. Di kalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan
sering menolong mereka yang menderita.
Ajaran Sunan Drajat yang Terkenal
Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang wudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun
maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh
(buta). Sejahterakalah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan).
Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada orang yang tidak tahu malu atau
belum punya peradaban tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang
yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun
dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan masing-masing.
Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk mengamalkannya.
Di
samping terkenal sebagai seorang Wali yang berjiwa dermawan dan
sosial, beliau juga dikenal sebagai anggota Wali Songo yang turut serta
mendukung dinasti Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.
Di
bidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau juga
pertama kali yang menciptakan Gending Pangkur. Hingga sekarang gending
tersebut masih disukai rakyat Jawa. Sunan Drajat, demikian gelar Raden
Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah
bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi,
yaitu tingkat atau derajat para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat
dengan Allah swt.
8. Sunan Muria
Asal-usul
Beliau
adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar
Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus,
ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang
ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat
tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo.
Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichin Salam, sasaran
dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata.
Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan
dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau
pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
Sakti Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat
dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung.
Menurut pengalaman penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki
undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria
tidak kurang dari 750 m.
Bayangkanlah,
jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus
naik turun, turun naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk
setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para
pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat.
Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai
tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria
memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.
Bukti
bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan
dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono
adalah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat
karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada
suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono
yang genap dua puluh tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti:
Sunan Muria, Sunan Kudus. Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya
Gentiri. Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang
dari jauh.
Setelah
tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati
keluar menghidangkan makanan dan miniman. Keduanya adalah dara-dara yang
cantik rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun,
bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi
Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat
menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan.
Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak
memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan
gadis itu.
Sewaktu
menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak
belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar
kecantikannya yang mempesona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat
Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot
memandangi gadis itu terus menerus.
Karena
dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia
menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih
setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.
Tentu
saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu
berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak
pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang
dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak
Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti
itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu,
diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat
bahwa gadis itu adalah putri gurunya.
Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam
hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masing-masing.
Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk
Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak
Warak belum dapat memejamkan matanya.
Pathak
Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-endap ke kamar
Roroyono. Gadis itu disirapnya (sirap atau sirep dikenal sebagai ilmu
semacam hipnotis), sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng
Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela.
Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.
Setelah
Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh Pathak Warak,
maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya kembali
ke Ngerang akan dijodohkan dengan putrinya itu, dan bila perempuan akan
dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan
kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan
kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi
harapan Sunan Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak”, kata Sunan Muria.
Tetapi,
di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik
seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir.
Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju
arah daerah Keling.
“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?”, tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.
Kapa
dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan
yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan
Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
“Kakang
sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat
membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng
Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami
hanya sekedar membantu”, demikian kata Kapa.
“Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri”, ujar Sunan Muria. “Itu
benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih
penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali”, kata Kapa ngotot.
Sunan
Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya
tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia
harus menengok para santri di Padepokan Gunung Muria.
Untuk
merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri
ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat
yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang ada tandingannya. Usaha
mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari
berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui
perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu
dengan Adipati Pathak Warak.
“Hai Pathak Warak berhenti kau!”, bentak Sunan Muria. Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti, karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir! Jangan menghalangi jalanku!”, hardik Pathak Warak. “Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono!” “Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri! Kini aku hendak mengejar mereka!”, umpat Pathak Warak. “Untuk apa kau mengejar mereka?” “Merebutnya kembali!”, jawab Pathak Warak dengan sengit. “Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa
basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangsak ke
arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia, bukan
tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya
dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di
tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi
lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan
Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut
gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita
secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas
Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya
menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun
segera dilaksanakan.
Kapa
dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar.
Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya
serba berkecukupan.
Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan ideal.
Tidak
demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono
dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh
kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah
wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah
diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru
menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah
payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan.
Inilah hikmah ajaran agama agar laki-laki diharuskan menahan pandangan
matanya dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.
Andaikata
Kapa dan Gentiri tidak menatap terus menerus kearah wajah dan tubuh
Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan
tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini
Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad
hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah
sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara
bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.
Gentiri
berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak
melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, sehingga
terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar
menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, hingga akhirnya
Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian
Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut
niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara
diam-diam di malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya.
Kebetulan
pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang
bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap (sirep: dikenal sebagai ilmu
sirep, semacam hipnotis) murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah…
yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa
menculik dan membawa wanita impiannya itu ke pulau Seprapat.
Pada
saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud
mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang datuk di Pulau Seprapat. Ini
biasa dilakukannya karena baginya bersahabat dengan pemeluk agama lain
bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut
Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti
ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk
agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia
dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri.
Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak
pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara
sukarela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke Pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang datuk.
“Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu!”, hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
“Bapa Guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela?” protes Kapa. “Sampai mati pun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri!”.
Perdebatan
antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan
Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria
melihat istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki
dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan
gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu
mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa langsung melancarkan serangan
dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju
Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa.
Bersamaan
dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi
Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa. Ternyata,
serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik
menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu
membalikkan serangan lawan.
Karena
Kapa mempergunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang
dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
“Maafkan saya tuan Wiku…”, ujar Sunan Muria agak menyesal. “Tidak mengapa. Menyesal aku telah turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan”, gunam sang Wiku.
Bagaimana
pun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara
layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan
dan hidup berbahagia.
9. Sunan Gunung Jati
Asal-usul
Dalam
usia masih muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia
ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir. Tapi anak
muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya
bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan
ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu
berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa
ulama besar di daratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah
sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia
tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
Perjuangan Sunan Gunungjati
Seringkali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif
Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap
Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar
adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah
seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan
Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim
Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah
Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam
dekat Sunan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai fathullah atau
Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
Syarif
Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban
Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan
Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh
Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di
Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya.
Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau
Gunungjati.
Syarifah
Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh
Datuk Kahfi membuka Pesanteren Gunungjati. Sehingga kemudian dari
Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya
yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada
tahun 1479, karena usianya sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana
menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan
gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan,
pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke
Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu
diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak
mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di
wilayah Pajajaran.
Syarif
Hidayatullah kemudian menlanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk
Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari
Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif
Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi
Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah
dikaruniai dua orang anak yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran
Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak.
Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak.
Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya
Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia
memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti
kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Dengan
bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin
bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain
seperti: Surantaka, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan
diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya
Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan
Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin
persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seroang keluarga
istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke
Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina
makin erat.
Bahkan
Sunan Gunungjati pernah diundang ke negri Cina dan kawin dengan putri
kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat
itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang
Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dengan negeri
Cina. Hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan
dalam dunia perdagangan.
Sesudah
kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien diganti namanya menjadi
Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar, ayah putri Ong Tien ini membekali
putrinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar
barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina
itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana
dan masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan
motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.
Masjid
Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu
Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu
melibatkan banyak pihak, diantaranya wali songo dan sejumlah tenaga ahli
yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan alijaga
mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang
persatuan ummat. Selesai membangun masjid, diteruskan dengan membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah
Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh tanah
Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan
wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri
sudah semakin terhimpit.
Pada
tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka
ingin meluaskan kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang
jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro
tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu
Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk
menyerang Portugis di Malaka. Tetapi usaha itu tak membuahkan hasil,
persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan
benteng yang kuat dim Malaka.
Ketika
Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka)
bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman
lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin
menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Pada
tahun 1521 Sultan Demak dipegang oleh Raden Trenggana putra Raden
Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah
Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan
mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah
yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus
mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya
menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda
Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa
Pajajaran membantu Portugis? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada
perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas. Ketika Portugis
menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai
Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa
Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan
Gunungjati? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan
kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu.
Pengalaman
adalah guru yang terbaik. Dari pengalamannya bertempur di Malaka,
tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu
sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan
Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan
Pajajaran kalah. Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran
cerai berai tak menentu arahnya.
Selanjutnya
Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para
pemberontak yaitu sisa-sisa pasuka Pajajaran. Usaha ini tidak menemui
kesulitan karena Fatahillah dibantu oleh putra Sunan Gunungjati yang
bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking
ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.
Fatahillah kemudian diangkat sebagai Adipati di Sunda Kelapa. Dan
merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Fatahillah tidak dapat
tinggal lebih lama di Jayakarta, karena Gunungjati selaku Sultan
Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam
lebih merata di Jawa Barat.
Kemenangan
demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati
memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan
Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah
selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke.
Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat
putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon kedua
dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon
sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat
sang Sultan. Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran
dakwah Islam di Gunungjati atau pesantren Pasambangan. Namun lima tahun
sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal
dunia mendahului ayahandanya.
Kedudukan
Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar
Sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon
walaupun masih tetap digunakan sebagai kasultanan tapi Sultannya hanya
bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adipati Carbon I ini adalah
menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan
Gunungjati. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun.
Bersama ibunya, Pangeran Cakrabuana beliau dimakamkan di Gunung
Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai. Fatahillah
dimakamkan di tempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan,
tanpa diperantarai apapun juga.
Legenda Sunan Gunungjati dan Putri Cina
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina
dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan
Maulana Insanul Kamil.
Daratan
Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka di
sana Sunan Gunungjati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu
pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di samping
itu, pada setiap gerakan fisik dari ibadah shalat sebenarnya merupakan
gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur –terutama bila seseorang
mau mendirikan shalat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunnah
dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan
daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan shalat lima
waktu, makam orang yang berobat kepada Sunan Gunungjati banyak yang
sembuh sehingga nama Gunungjati menjadi terkenal di seluruh daratan
Cina.
Di negeri
Naga itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan Jenderal Cheng Ho dan
sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini
sudah masuk Islam.
Pada
suatu ketika Gunungjati berkunjung ke hadapan Kaisar Hong Gie,
pengganti Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming. Dalam kunjungan itu Sunan
Gunungjati berkenalan dengan putri Kaisar yang bernama Ong Tien.
Menurut
versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan
Gunungjati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam,
beliau hendak melaksanakan shalat Tahajud. Beliau hendak shalat di
rumah tapi tidak bisa khusyu’. Beliau heran, padahal bagi para wali,
sahalat tahajud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya.
Kemudian Sunan Gunungjati
shalat
di atas perahu yang ditambatkan di tepi pantai Cirebon. Di sana beliau
dapat shalat dengan khusyu’. Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah
shalat dan berdoa.
Ketika
beliau terbangun, beliau merasa kaget. Daratan pulau Jawa tidak nampak
lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga
sampai ke negeri Cina.
Di
negeri Cina beliau membuka praktik pengobatan. Penduduk Cina yang
berobat disuruhnya melaksanakan shalat. Setelah mengerjakan shalat
mereka sembuh. Makin hari namanya makinterkenal, beliau dianggap sebagai
shinse atau tabib sakti yang berkepandaian tinggi.
Kabar
adanya tabib asing yang berkepandaian tinggi terdengar oleh Kaisar.
Sunan Gunungjati dipanggil ke istana. Kaisar Cina hendak menguji
kepandaian Sunan Gunungjati. Sebagai seorang tabib dia pasti dapat
mengetahui nama seorang yang hamil muda atau belum hamil.
Dua
orang Kaisar disuruh maju. Sedang yang seorang lagi masih perawan
namun perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang
hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil
sehingga nampak seperti orang yang belum hamil.
“Hai
tabib! Mana di antara puteriku yang hamil?” tanya Kaisar. Sunan
Gunungjati diam sejenak, ia berdoa kepada Tuhan. “Hai orang asing
mengapa kau diam? Cepat kau jawab!”, bentak Kaisar Cina.
“Dia!”
jawab Sunan Gunungjati sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih
perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikian
pula seluruh menteri dan semua orang yang ada di balairung istana
Kaisar. Namu tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena putri Ong Tien
menjerit keras sembari memegangi perutnya. “Ada apa anakku?” tanya
Kaisar. “Ayah! Saya benar-benar hamil!”
Maka
gemparlah seisi istana. Ternyata bantal yang di perut Puteri Ong Tien
telah lenyap entah kemana. Sementara perut putri yang cantik itu
benar-benar membesar seperti orang hamil.
Kaisar
munjadi murka. Sunan Gunungjati diusir dari daratan Cina. Sunan
Gunungjati menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau Jawa. Namun
Puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunungjati
maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan
Gunungjati ke Pulau Jawa.
Kaisar
Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunungjati ke
Pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dn barang-barang
berharga lainnya seperti bokor, guci emas, dan permata. Puteri cantik
itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang
menteri negara, Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah
salah seorang murid Sunan Gunugjati tatkala beliau berdakwah di negeri
Cina.
Dalam
pelayaran ke Pulau Jawa, mereka singgah di Kadipaten Sriwijaya. Begitu
mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka
merasa heran.
“Ada
apa ini?” Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya.
Tetua masyarakat balik bertanya,”Siapa yang bernama Pai Li Bang?” “Saya
sendiri”, jawab Pai Li Bang. Kontan Pai Li Bang digotong penduduk di
atas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana
Kadipaten Sriwijaya. Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li Bang
bertanya,”Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Tetua masyarakat itu
menernagkan,”Bahwa Adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan
Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari
penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa.
Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.
Dalam
kebingungan itu muncullah Sunan Gunungjati, beliau berpesan bahwa
sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya
Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar.
Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina.
Setelah
berpesan demikian Sunan Gunungjati meneruskan pelayarannya ke Pulau
Jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum kepada gurunya yang
ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke
Pulau Jawa. Pai Li Bang tidak menolak kleinginan gurunya, dia bersedia
menjadi Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat
sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang
meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti dengan nama
kadipaten Pai Li Bang. Dalam perkembangannya karena proses pengucapan
lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal
dengan sebutan Palembang hingga sekarang.
Sementara
itu Puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau Jawa.
Sampai di Cirebon dia mencari Sunan Gunungjati. Tapi
Sunan Gunungjati
sedang berada di Luragung. Puteri itu pun menyusulnya. Pernikahan
antara Puteri Ong Tien dengan Sunan Gunungjati terjadi pada tahun 1481,
tapi sayang pada tahun 1485 Puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika
anda berkunjung ke makam Sunan Gunungjati di Cirebon janganlah anda
merasa heran, di sana banyak ornamen Cina dan nuansa-nuansa Cina
lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari Cina.