Kelahiran Prabu Angling
Dharma
Sebelum
Angling Dharma lahir, terdapat sebuah kerajaan yang
dikenal dengan Kerajaan Hastina. Kerajaan Hastina saat itu
dipimpin oleh Raja yang dikenal dengan Raja Parikesit.
Semenjak Parikesit mempunyai beberapa orang putra, kehidupan
disekitar kerajaan mulai memburuk karena terjadi persaingan
perebutan tahta kerajaan. Raja Parikesit mewariskan tahtanya
kepada putranya Yudayana. Ketika masa kepemimpinan Yudayana
dimulai, kerajaan hampir mengalami kehancuran sehingga Raja
Yudayana sampai berani mengubah nama kerajaannya menjadi
Kerajaan Yawasita. Perubahan nama kerajaan dilakukan
bermaksud agar masa depan kerajaan yang dipimpin raja
Yudayana semakin membaik. Namun kenyataannya masa depan
kerajaan Yawasita tetap tidak jaya. Sehingga tahta Raja
Yudayana dia berikan kepada saudaranya Gendrayana yang dulu
pernah bersaing dengan Yudayana.
Pada masa pemerintahan Raja baru Gendrayana, lingkungan
kerajaan semakin membaik dan mulai ada perubahan yang lebih
sejahtera. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya rakyat
yang mengalami kelaparan dan kemiskinan. Namun, masa
kepemimpinan Gendrayana tidak terlalu lama karena dia
menghukum adiknya sendiri yang bernama Sudarsana dengan
dasar kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Mendengar
berita itu, Batara Narada atau seorang pendeta dari
kahyangan yang bijaksana datang ke kerajaan Yawastita untuk
mengadili Gendrayana. Sebagai hukumannya, gendrayana dibuang
ke hutan oleh Batara Narada. Sedangkan adiknya Sudarsana
dijadikan sebagai pengganti Gendrayana. Gendrayana mengajak
beberapa pengikut setianya untuk hidup bersamanya dan
membuat kerajaan baru suatu hari nanti.
Di dalam hutan, Gendrayana berjuang keras bersama
pengikut-pengikutnya membuat sebuah kerajaan yang akan
berdiri kokoh. Setelah beberapa tahun, akhirnya sebuah
kerajaan berhasil berdiri atas perjuangan keras yang
dilakukan Gendrayana. Kerajaan tersebut diberi nama Kerajaan
Mamenang oleh Gendrayana. Dan raja pertama yang menduduki
pada masa itu adalah Gendrayana sendiri. Bahkan sampai
Ratusan tahun kerajaan Mamenang berhasil memakmurkan
rakyatnya dan selalu unggul dalam persaingan dengan kerajaan
Yawasita. Setelah mengalami masa kejayaan, Gendrayana
dikaruniai seorang putra yang diberi nama Jayabaya.
Gendrayana mewariskan tahtanya kepada Jayabaya. Sedangkan
Raja Sudarsana juga menyerahkan tahtanya kepada putranya
yaitu Sariwahana. Kamudian Sariwahana mewariskan tahtanya
kepada putranya Astradama karena Sariwahana tidak terlalu
suka menjadi seorang raja. Pada masa pergantian tahta, kedua
kerajaan ini sering terlibat dalam perang saudara. Perang
saudara ini sampai bertahan hingga puluhan tahun dan tetap
saja tidak selesai-selesai.
Akhirnya kedua kerajaan ini damai atas bantuan dari Hanoman
yang telah bertapa lebih dari ratusan tahun. Hanoman
melakukan tindakan yang berhasil mewujudkan perdamaian
antara kerajaan Yawastina dengan kerajaan Mamenang dengan
cara perkawinan salah satu anggota kerajaan. Yaitu
Astradarma dinikahkan dengan Pramesti, Putra Jayabaya.
Setelah menikah, Pramesti
bermimpi bertemu dengan Batara Wisnu. Batara Wisnu berkata
bahwa dia akan dilahirkan di dunia melalui rahimnya sendiri.
Dengan adanya kejadian mimpi tersebut, tiba-tiba perut
Pramesti membuncit dan didalam rahimnya ada jabang bayi.
Sontak Astradarma menuduh Pramesti selingkuh dengan orang
lain. Sehingga Astradarma mengsusir istrinya untuk pulang
kembali ke negerinya. Saat Jayabaya menemui putrinya
berjalan menuju ke istananya dengan keadaan hamil dan lemas,
Jayabaya sangat murka kepada Raja Astradarma. Kemudian
Jayabaya mengutuk kerajaan Yawastina tenggelam oleh banjir
bandang yang besar. Tak lama kutukan itu pun terjadi dan
menimpa kerajaan Yawastina. Akhirnya Raja Astradarma dengan
seluruh rakyatnya terhempas dan menghilang bersama istananya
karena banjir yang melanda kerajaannya. Begitulah
berakhirnya kerajaan Yawastina.
Setelah runtuhnya kerajaan Yawastina, Pramesti melahirkan
seorang putra yang diberi Angling Dharma. Angling
Dharma
merupakan bayi titisan Dewa Wisnu yang memiliki
kekuatan-kekuatan yang luar biasa. Angling Dharma
dilahirkan bersamaan dengan kematian kakeknya Jayabaya.
Setelah meninggalnya Jayabaya, tahta kerajaan Mamenang
kemudian diserahkan kepada Jaya Amijaya (Saudara Pramesti).
Perjalanan Hidup Prabu
Angling Dharma
Pada masa kecil sampai remaja Angling Dharma sering
sekali membantu sesama temannya. Dia selalu meberantas
kejahatan meskipun usia Angling Dharma masih sangat
muda. Banyak sekali perampok-perampok yang berhasil dia
kalahkan. Sehingga dia sangat disegani oleh banyak
masyarakat yang telah dibantunya. Pada saat masuk usia
remaja, Angling Dharma mulai melatih dan mengasah
kemampuannya dalam dunia persilatan dan kekuatan dalam.
Dengan dibekali keahlian sejak kecil, Angling Dharma
sangat mudah mempelajari berbagai macam jurus yang diajarkan
oleh gurunya, yaitu Begawan Maniksutra. Dia juga diajarkan
gurunya untuk berburu yang baik dan tidak merusak alam.
Hanya berburu dalam waktu 30 menit, Angling Dharma
berhasil melumpuhkan seekor singa yang besar.
Angling Dharma sering sekali membunuh hewan setelah dia
bisa berburu. Dalam sehari, Angling Dharma selalu
membantai 3 ekor singa. Mengetahui hal tersebut, guru
memarahi Angling Dharma sampai-sampai Angling
Dharma tidak mau berlatih dengan gurunya sendiri. Selama
lebih dari 2 tahun, Begawan Maniksutra berhasil menguasai
berbagai macam ilmu tenaga dalam dan jurus-jurus yang sangat
hebat. Suatu hari Begawan memergoki Angling Dharma
sedang berburu dan membawa 2 ekor singa yang diikat tali
oleh Angling Dharma. Begawan Maniksutra langsung
menghalangi langkah kaki Angling Dharma yang penuh
dengan keringat.
"Dharma! berhenti di situ!" teriak Begawan Maniksutra.
"Sedang apa kamu di sini? Menyingkirlah kamu dari jalanku,"
kata
Angling Dharma.
"Dasar anak kurang ajar! lepaskan kedua singa itu. Atau kamu
..."
"Aku apa? Saya tidak takut denganmu walau aku pernah berguru
kepadamu," Angling Dharma memotong pembicaraan Begawan.
"Memang semakin besar kamu semakin kurang ajar. Rasakan
i..."
tiba-tiba dipotong Angling Dharma.
"Rasakan apa? Saya tidak takut walaupun engkau hebat."
Angling Dharma
tertawa sambil melihat jurus yang dilakukan oleh Begawan
Maniksutra.
"Mana ilmumu wahai guru?" Angling Dharma
bertanya.
"Lihat sekelilingmu," kata Begawan. Angling Dharma
terkejut melihat tali yang diikatkan ke leher singa
tiba-tiba menghilang. Sontak Angling Dharma langsung
berlari menghindar dari kejaran dua ekor singa yang telah
diburunya. Setelah jauh berlari, akhirnya Angling Dharma
berhasil lolos dari kejaran singa. Tiba-tiba Begawan
Maniksutra berada di depan Angling Dharma. Angling
Dharma langsung meminta kepada Begawan Maniksutra untuk
menerima dirinya kembali sebagai muridnya. Selama Angling
Dharma menjadi murid Begawan Maniksutra, dia diajarkan
ilmu-ilmu yang dimiliki Begawan Maniksutra agar bisa
meneruskan ilmu untuk para pemuda-pemuda yang berjuang
mempertahankan negeri.
Akhirnya
Angling Dharma berhasil menguasai seluruh ilmu dan
jurus-jurus yang diajarkan oleh Begawan Maniksutra. Kemudian
dengan tekat dan keberanian Angling Dharma, dia ingin
membangun sebuah negeri baru karena mengetahui sejarah
negeri kakeknya yang dulu sering berselisih dengan kerajaan
lain. Angling Dharma ingin menciptrakan sebuah negeri
yang damai dan makmur bagi rakyatnya.
Setelah
Angling Dharma memasuki masa dewasa, Angling
Dharma berniat membawa ibunya pindah ke negeri yang
telah dibangunnya sendiri. Negeri tersebut diberi nama
Malawapati. Di sana, Angling Dharma memimpin
negerinya sendiri dan mengatur negerinya sendiri dengan
memberi gelar Prabu Angling Dharma atau Prabu
Ajidharma oleh dirinya sendiri. Setelah kerajaan Yawastina
mengetahui kemakmuran yang terjadi pada kerajaan Malawapati,
Jaya Amijaya sebagai raja Yawastina memberikan seperempat
kekuasaannya kepada Angling Dharma untuk bermaksud
memakmurkan rakyat barunya.
Walaupun dia sebagai raja, dia tetap tidak mau meninggalkan
kebiasaannya untuk berburu. Angling Dharma senang
sekali berburu pada malam hari karena pada malam hari
hewan-hewan sangat mudah untuk diburu. Pada saat dia
berburu, ia menemukan seorang gadis yang bersembunyi dari
kejaran harimau. Lalu kemudian dia membawa gadis itu menuju
ke tempat yang aman dari jangkauan harimau. Selama
perjalanan mereka saling berkenalan dan saling bercerita
kesukaan mereka. Gadis itu ternyata bernama Setyawati yang
ayahnya merupakan seorang pertapa sakti bernama Resi
Maniksutra.
Angling Dharma kemudian mengantarkannya pulang ke rumah.
karena Angling Dharma merasa jatuh cinta kepada
Setyawati dalam pandangan pertaa, Angling Dharma
berniat untuk menjadikan Setyawati sebagai pendamping
hidupnya.
Dan akhirnya Angling Dharma juga melamar Setyawati
sebagai istrinya. Namun ada sedikit kendala saat akan
mendapatkan Setyawati. Kakak Setyawati yang bernama
Batikmadrim telah bersumpah bahwa barangsiapa yang ingin
menikahi adiknya harus dapat mengalahkannya. Mengetahui
sumpah tersebut, Angling Dharma memberanikan diri
untuk melawan Batikmadrim demi mendapatkan Setyawati. Maka
terjadilah pertandingan antara kakak Setyawati dengan
Angling Dharma yang dimenangkan oleh Angling Dharma.
Setelah itu, Setyawati menjadi permaisuri Angling Dharma
dan sedangkan Batikmadrim diangkat sebagai patih di Kerajaan
Malawapati.
Di lain hari, Angling Dharma memergoki istri Nagaraja
yang bernama Nagagini sedang berselingkuh dengan seekor ular
tampar (Nagaraja merupakan seorang guru yang tinggal di
kerajaan Yawastina). Hal itu diketahui Angling Dharma
saat Angling Dharma sedang berburu pada malam hari.
Angling Dharma pun membunuh ular jantan tersebut demi
kebaikan. Sedangkan Nagagini pulang dalam keadaan terluka.
Nagagini kemudian menyusun sebuah laporan palsu kepada
suaminya supaya membalas dendam kepada Angling Dharma
yang telah membunuh temannya. Nagaraja pun menyusup ke dalam
istana Malawapati. Namun saat menyusup ke dalam istana,
Nagaraja menyaksikan Angling Dharma sedang
membicarakan perselingkuhan Nagagini kepada Setyawati.
Nagaraja pun sadar bahwa istrinya yang salah. Nagaraja pun
muncul dan meminta maaf kepada Angling Dharma karena
dia hampir saja membunuh Angling Dharma.
Pada saat itu juga Nagaraja mengakui bahwa dirinya akan
meninggal karena dia telah memasuki masa moksa (Moksa adalah
masa dimana arwah seseorang akan pergi dari raganya dan
bereinkarnasi menuju ke manusia yang akan dilahirkan).
Kemudian Nagaraja mewariskan ilmu kesaktiannya berupa Aji
Gineng kepada Angling Dharma. Ilmu tersebut harus
dijaga dengan baik dan penuh rahasia. Setelah mewariskan
ilmu tersebut, Nagaraja pun meninggal. Jenazah Nagaraja
kemudian dibawa ke rumah istrinya oleh Angling Dharma
dan Angling Dharma menjelaskan kepada Nagagini apa
yang sebenarnya terjadi sebelum suaminya meninggal.
Semenjak
Angling Dharma mewarisi ilmu baru dari Nagaraja, dia
dapat mengerti bahasa binatang. Pernah ia tertawa
menyaksikan percakapan sepasang cicak. Hal itu membuat
Setyawati tersinggung karena dirinya tidak pernah
diperhatikan oleh suaminya semenjak dia memlihara banyak
hewan dari hasil perburuannya. Angling Dharma menolak
berterus terang karena terlanjur berjanji akan merahasiakan
Aji Gineng. Hal itu membuat Setyawati bertambah marah.
Setyawati pun memilih bunuh diri dalam api karena merasa
dirinya tidak dihargai lagi oleh Angling Dharma.
Angling Dharma berjanji lebih baik menemani Setyawati
mati, daripada harus membocorkan rahasia ilmunya. Ketika
upacara pembakaran diri digelar, Angling Dharma
sempat mendengar percakapan sepasang kambing. Dari
percakapan itu Angling Dharma sadar kalau
keputusannya menemani Setyawati mati adalah keputusan yang
tidak tepat dan bisa merugikan rakyat banyak.
Setelah kematian istrinya yang tragis, Angling Dharma
menjalani hukuman buang untuk beberapa waktu sebagai penebus
dosa. Hukuman itu meruupakan permintaan dari rakyatnya
sendiri. Karena Angling Dharma telah mengingkari
janji setia sehidup semati dengan istrinya sendiri. Walaupun
Angling Dharma dihukum, dia tetap tidak lengser dari
kursi rajanya. Kemudian Angling Dharma menitipkan
istananya kepada Batikmadrim selama dia menjalani hukuman.
Dalam perjalanan, Angling Dharma bertemu tiga orang
putri yang bernama Widata, Widati, dan Widaningsih.
Ketiganya jatuh cinta kepada Angling Dharma dan
menahannya untuk tidak pergi meninggalkan mereka. Selama
mereka saling mengenal, Angling Dharma meminta tolong
kepada tiga putri tersebut untuk memberikan sebuah tempat
tinggal untuknya. Akhirnya ketiga orang putri tersebut
memberikan tempat tinggal untuk Angling Dharma. Namun
semenjak tinggal bersama dengan tiga orang putri, Angling
Dharma
merasa ada yang ganjil saat putri-putri sering keluar pada
malam hari. Kemudian Angling Dharma menyamar sebagai
sosok burung gagak untuk menyelidiki kegiatan rahasia ketiga
putri tersebut. Ternyata setiap malam mereka selalu berpesta
makan daging manusia. Akhirnya kecurigaan Angling Dharma
sudah terbukti. Tiga orang putri tadi merupakan penyihir
yang suka memangsa manusia sebagai makanannya.
Saat
Angling Dharma ketahuan sedang mengintip kegiatan mereka
yang sedang makan daging manusia, Angling Dharma pun
berselisih dengan mereka. Namun kekuatan Angling Dharma
masih dapat dikalahkan oleh 3 orang penyihir. Akhirnya
ketiga putri tadi mengutuk Angling Dharma menjadi
seekor belibis putih. Belibis putih tersebut terbang sampai
ke wilayah Kerajaan Bojanagara. Di sana, ia dipelihara
seorang pemuda desa bernama Jaka Geduk. Jaka Gduk terkejut
saat dia mengetahui belibis putih mampu berbucara kepadanya.
Pada saat itu, Darmawangsa yang sebagai raja Bojanagara
sedang bingung menghadapi pengadilan yang di mana kasusnya
merupakan seorang wanita bernama Bermani mempunyai dua orang
suami yang berwujud sama dan bernama sama, yaitu Bermana.
Kemudian pemuda desa tadi datang sambil membawa belibis
putih untuk membantu raja dalam mengadili Bermani. Atas
petunjuk belibis putih, Jaka Geduk berhasil membongkar
Bermana palsu kembali ke wujud aslinya, yaitu Jin
Wiratsangka. Atas keberhasilannya itu, Jaka Geduk diangkat
sebagai hakim negara, sedangkan belibis putih diminta
sebagai peliharaan putri raja Bojanagara yang bernama
Ambarwati.
Keberhasilan Prabu Angling
Dharma
Walaupun
Angling Dharma telah berwujud belibis putih, dia
sebenarnya bisa berubah ke wujud manusia pada malam hari
saja. Namun Angling Dharma merahasiakan kelebihannya
itu kepada siapapun kecuali Ambarawati. Setiap malam ia
menemui Ambarawati dalam wujud manusia sehingga mereka
berdua saling jatuh cinta. Mereka akhirnya menikah tanpa
sepengetahuan orang tua Ambarawati. Dari perkawinan itu
Ambarawati pun mengandung.
Darmawangsa heran dan bingung mendapati putrinya mengandung
tanpa suami. Kebetulan saat dalam setiap kebingungan raja
selalu ada jalan keluar dengan adanya orang ketiga. munculah
seorang pertapa sakti yang bernama Resi Yogiswara mengaku
siap menemukan ayah dari janin yang dikandung Ambarawati.
Yogiswara kemudian mencari pelakunya. Resi mencurigai dengan
adanya seekor belibis putih yang memiliki sebuah kalung yang
sama seperti kalung Angling Dharma. Kemudian Resi
Yogiswara menyerang belibis putih peliharaan Ambarawati.
Setelah melalui pertarungan yang sengit, belibis putih
kembali ke wujud semula yaitu Angling Dharma,
sedangkan Yogiswara berubah menjadi Batikmadrim. Kedatangan
Batikmadrim yang sebenarnya adalah untuk menjemput
Angling Dharma yang sudah habis masa hukumannya.
Raja Darmawangsa justru menerima perlakuan Angling Dharma
terhadap putrinya dan merestui hubungan mereka. Sehingga
raja Darmawangsa melakukan acara pernikahan besar untuk
menyambut Angling Dharma. Angling Dharma
kemudian membawa Ambarawati pindah ke Malawapati. Dari
perkawinan mereka, akhirnya lahir seorang putra yang bernama
Anglingkusuma. Angling Kusuma akan menjadi penerus raja di
kerajaan Bojanagara dan menggantikan kakeknya tersebut.
Namun, selama Angling Kusuma menjadi raja, dia mempunyai
musuh bernama Durgandini dan Sudawirat yang ingin
menjatuhkan kerajaan Bojanagara.
Setelah kembalinya Angling Dharma ke Malawapati,
kerajaan
Angling Dharma berjaya dan mampu membantuk putranya
dalam memerangi musuh-musuhnya dan akhirnya mereka berhasil
menaklukan musuh-musuhnya. Dan saat itulah sudawirat terbuka
hatinya untuk mengabdi kepada Kerajaan yang dipimpin oleh
Prabu Angling Dharma. Dan sedangkan Durgandini
bersedia mengabdi pada kerajaan Bojanagara.