Tahun 1993
Seri Soeharto Rp. 50.000 merupakan seri uang yang berbahan Polymer (Plastik) pertama di Indonesia.
Keadaan
ekonomi di Indonesia pada awal kemerdekaan ditandai dengan
hiperinflasi akibat peredaran beberapa mata uang yang tidak terkendali,
sementara
Pemerintah RI belum memiliki mata uang. Ada tiga mata uang yang
dinyatakan
berlaku oleh pemerintah RI pada tanggal 1 Oktober 1945, yaitu mata
uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank.
hiperinflasi akibat peredaran beberapa mata uang yang tidak terkendali,
sementara
Pemerintah RI belum memiliki mata uang. Ada tiga mata uang yang
dinyatakan
berlaku oleh pemerintah RI pada tanggal 1 Oktober 1945, yaitu mata
uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank.
Diantara ketiga mata uang tersebut yang nilai tukarnya mengalami
penurunan tajam adalah mata uang Jepang. Peredarannya mencapai
empat milyar sehingga mata uang Jepang tersebut menjadi sumber
hiperinflasi. Lapisan masyarakat yang paling menderita adalah petani,
karena merekalah yang paling banyak menyimpan mata uang Jepang.
Kekacauan ekonomi akibat hiperinflasi diperparah oleh kebijakan
Panglima
AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Sir Montagu
Stopford yang
pada 6 Maret 1946 mengumumkan pemberlakuan mata uang NICA
di seluruh
wilayah Indonesia yang telah diduduki oleh pasukan AFNEI.
Kebijakan ini
diprotes keras oleh pemerintah RI, karena melanggar persetujuan
bahwa masing-masing pihak tidak boleh mengeluarkan mata uang baru
selama belum adanya penyelesaian politik. Namun protes keras
ini diabaikan oleh AFNEI. Mata uang NICA digunakan AFNEI untuk
membiayai operasi-operasi militernya di Indonesia dan sekaligus
mengacaukan perekonomian nasional, sehingga akan muncul krisis
kepercayaan rakyat terhadap kemampuan pemerintah RI dalam
mengatasi persoalan ekonomi nasional.
Karena protesnya tidak ditanggapi, maka pemerintah RI mengeluarkan
kebijakan yang melarang seluruh rakyat Indonesia menggunakan
mata uang NICA sebagai alat tukar. Langkah ini sangat penting
karena peredaran mata uang NICA berada di luar kendali pemerintah RI,
sehingga menyulitkan perbaikan ekonomi nasional.
Oleh karena AFNEI tidak mencabut pemberlakuan mata uang NICA, maka
pada tanggal 26 Oktober 1946 pemerintah RI memberlakukan mata uang
baru ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai alat tukar yang sah di seluruh
wilayah RI. Sejak saat itu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda dan
mata uang De Javasche Bank dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian
hanya ada dua mata uang yang berlaku yaitu ORI dan NICA. Masing-masing
mata uang hanya diakui oleh yang mengeluarkannya. Jadi ORI hanya diakui
oleh pemerintah RI dan mata uang NICA hanya diakui oleh AFNEI. Rakyat
ternyata lebih banyak memberikan dukungan kepada ORI. Hal ini mempunyai
dampak politik bahwa rakyat lebih berpihak kepada pemerintah RI dari pada
pemerintah sementara NICA yang hanya didukung AFNEI.
Untuk mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing yang ada di Indonesia,
pemerintah RI pada tanggal 1 November 1946 mengubah Yayasan Pusat Bank
pimpinan Margono Djojohadikusumo menjadi Bank Negara Indonesia (BNI).
Beberapa bulan sebelumnya pemerintah juga telah mengubah bank pemerintah
pendudukan Jepang Shomin Ginko menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan
Tyokin Kyoku menjadi Kantor Tabungan Pos (KTP) yang berubah nama pada
Juni 1949 menjadi Bank tabungan Pos dan akhirnya di tahun 1950 menjadi
Bank Tabungan Negara (BTN). Semua bank ini berfungsi sebagai bank
umum yang dijalankan oleh pemerintah RI. Fungsi utamanya adalah
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta pemberi jasa
di dalam lalu lintas pembayaran.
Terbentuknya Bank Indonesia
Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat
perdagangan internasional. Sementara di daratan Eropa muncul lembaga
perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di negeri Belanda. Sistem
perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang mengekspansi
nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan
De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank
van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara
cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada 24 Januari 1828,
pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama
De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut
beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa
Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.
Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan
Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia
Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan
Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua,
DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan "Jajasan Poesat Bank
Indonesia" dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI. Konferensi Meja Bundar
(KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian
DJB sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini
terus bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya
sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya.
Maka sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral
bagi Republik Indonesia.
------------------------------------------------------------------------------
Banyak orang lupa, bahwa Yogyakarta selama empat tahun pernah menjadi
ibukota Republik Indonesia. Tepatnya pada 4 Januari 1946 sampai 27 Desember
1949 ibukota Republik Indonesia ada di Yogyakarta.
Berpindahnya ibukota RI saat itu bukan tanpa alasan, situasi Jakarta kala itu
dalam kondisi tidak aman dan roda pemerintahan RI macet total akibat adanya
unsur-unsur yang saling berlawanan. Di satu pihak masih adanya pasukan
Jepang yang memegang satus quo, di pihak lain adanya sekutu yang
diboncengi NICA. Singkatnya, situasi Jakarta makin genting dan keselamatan
para pemimpin bangsa pun terancam. Atas inisiatif HB IX, ibukota RI berpindah
ke Yogyakarta. Hijrah ibukota RI itu merupakan atas nasehat dan prakarsa Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan dari Yogyalah persoalan politik bangsa
dikoordinasikan. Semua itu bisa berhasil dengan baik berkat kepemimpinan HB IX.
Dipilihnya Yogya sebagai ibukota RI karena pandangan politik ke depan dan
keberanian Sultan HB IX mengambil resiko. Sehingga dapat dikatakan HB IX
dan masyarakatnya merupakan penyambung kelangsungn RI dalam menghadapi
agresi militer Belanda. Sri Sultan Hamengkubuwono IX merupakan aktor
intelektualis yang memiliki multi status. Selain sebagai Raja, kepala derah,
menteri pertahanan, Sultan adalah key person dan juru runding dengan Belanda,
juga sebagai figur kunci birokrasi sipil di Indonesia. Sri Sultan Hamengkubuwono IX
yang aslinya bernama G.R.M Dorojatun, sejak diangkat menjadi Sultan 18 Maret 1940
, menggantikan ayahnya Sri Sultan HB VIII sudah dekat dengan kalangan rakyat dan
tentu saja beliau memahami aspirasi rakyat, termasuk penderitaan dan harapannya
semasa penjajahan Belanda dan Jepang.
Karena perpindahan ibukota inilah maka semua uang ORI yang diterbitkan pada
tahun 1946 s/d 1949 yaitu seri ORI II, III, IV dan ORI Baru tercantum kata2
Djokjakarta. Bukan lagi Djakarta seperti pada seri ORI I.
Berikut ini beberapa uang kertas yang pernah beredar di Indonesia.
1. Uang pada masa penjajahan Belanda
- Mata Uang De Javasche Bank
Tahun 1901-1924 (Seri Ocen I)
Front Side
Back Side
Tahun 1919 - 1920 (Seri Gedung)
Edisi Khusus 10 dan 25 Gulden
Tahun 1925 - 1931 (Seri Ocen II).
Tahun 1933 - 1939 (Seri Wayang)
Tahun 1946 (Seri Federal I)
Tahun 1847 (Seri Federal II)
Tahun 1948 (Seri Federal III)
- Mata Uang Hindia Belanda/ Netherland Indie
Tahun 1919 - 1920 (Seri Munblijed I)
Tahun 1920 (Seri Munblijed II)
Tahun 1940 (Seri Munblijed III)
- Mata Uang NICA
2. Mata Uang Pada Masa Penjajahan Jepang
- Tahun 1944 Mata Uang Dai Nippon
3. Oeang Republik Indonesia
Mata uang pertama yang
dimiliki Republik Indonesia
setelah merdeka adalah Oeang Republik Indonesia
atau ORI. Pemerintah memandang perlu untuk
mengeluarkan uang sendiri yang tidak hanya
berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga
sebagai lambang utama negara merdeka. Ditambah
lagi dengan beredarnya mata uang NICA yang
dikeluarkan oleh negara sekutu yang semakin
mempersulit perekomomian Indonesia.
setelah merdeka adalah Oeang Republik Indonesia
atau ORI. Pemerintah memandang perlu untuk
mengeluarkan uang sendiri yang tidak hanya
berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga
sebagai lambang utama negara merdeka. Ditambah
lagi dengan beredarnya mata uang NICA yang
dikeluarkan oleh negara sekutu yang semakin
mempersulit perekomomian Indonesia.
Resmi beredar pada 30 Oktober 1946, ORI
tampil
dalam bentuk uang kertas bernominal satu sen
dengan gambar muka keris terhunus dan gambar
belakang teks undang undang ORI ditandatangani
Menteri Keuangan saat itu A.A. Maramis. Pada hari
itu juga dinyatakan bahwa uang Jepang dan uang
Javache Bank tidak berlaku lagi. ORI pertama
dicetak oleh Percetakan Canisius dengan desain
sederhana dengan dua warna dan memakai
pengaman serat halus.
dalam bentuk uang kertas bernominal satu sen
dengan gambar muka keris terhunus dan gambar
belakang teks undang undang ORI ditandatangani
Menteri Keuangan saat itu A.A. Maramis. Pada hari
itu juga dinyatakan bahwa uang Jepang dan uang
Javache Bank tidak berlaku lagi. ORI pertama
dicetak oleh Percetakan Canisius dengan desain
sederhana dengan dua warna dan memakai
pengaman serat halus.
Presiden Soekarno menjadi tokoh yang paling
sering tampil dalam desain uang kertas ORI dan
uang kertas Seri ORI II yang terbit di Jogjakarata
pada 1 Januari 1947, Seri ORI III di Jogjakarta
pada 26 Juli 1947, Seri ORI Baru di Jogjakarta
pada 17 Agustus 1949, dan Seri Republik Indonesia
Serikat (RIS) di Jakarta pada 1 Januari 1950.
sering tampil dalam desain uang kertas ORI dan
uang kertas Seri ORI II yang terbit di Jogjakarata
pada 1 Januari 1947, Seri ORI III di Jogjakarta
pada 26 Juli 1947, Seri ORI Baru di Jogjakarta
pada 17 Agustus 1949, dan Seri Republik Indonesia
Serikat (RIS) di Jakarta pada 1 Januari 1950.
Meski masa peredaran ORI cukup singkat, namun ORI
telah diterima di seluruh wilayah Republik Indonesia dan
ikut menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah.
Pada Mei 1946, saat suasana di Jakarta genting, maka
Pemerintah RI memutuskan untuk melanjutkan
pencetakan ORI di daerah pedalaman, seperti di Jogjakarta,
Surakarta dan Malang.
telah diterima di seluruh wilayah Republik Indonesia dan
ikut menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah.
Pada Mei 1946, saat suasana di Jakarta genting, maka
Pemerintah RI memutuskan untuk melanjutkan
pencetakan ORI di daerah pedalaman, seperti di Jogjakarta,
Surakarta dan Malang.
Tahun 1945 (Seri ORI I)
Tahun 1947 (Seri ORI II)
Tahun 1947 (Seri ORI III)
Tahun 1948 (Seri ORI IV)
Tahun 1949 (Seri ORI Baru)
4. Mata Uang RIS (Republik Indoneisa Serikat)
Republik
Indonesia Serikat, disingkat RIS, adalah
suatu negara federasi yang yang berdiri pada
tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan
3 pihak dalam Konferensi Meja Bundar yaitu Republik
Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg
(BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan
juga oleh United Nations Commission for Indonesia
(UNCI) (UNCI) sebagai perwakilan PBB.
suatu negara federasi yang yang berdiri pada
tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan
3 pihak dalam Konferensi Meja Bundar yaitu Republik
Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg
(BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan
juga oleh United Nations Commission for Indonesia
(UNCI) (UNCI) sebagai perwakilan PBB.
Pemerintahan
RIS (kabinet ministerial) dipimpin
oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta, sedangkan
Presidennya adalah Soekarno. Republik Indonesia
Serikat yang beribu kota di Jakarta, yang terdiri
beberapa negara bagian.
oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta, sedangkan
Presidennya adalah Soekarno. Republik Indonesia
Serikat yang beribu kota di Jakarta, yang terdiri
beberapa negara bagian.
Republik
Indonesia Serikat dibubarkan pada 17 Agustus 1950,
dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dengan kendali sepenuhnya dari presiden Soekarno
(kabinet presidential) beserta wakil presiden Mohammad Hatta.
dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dengan kendali sepenuhnya dari presiden Soekarno
(kabinet presidential) beserta wakil presiden Mohammad Hatta.
Tahun 1950 (Republik Indonesia Serikat)
5. Uang Kertas Republik Indonesia
Tahun 1951 (Seri Alam)
6. Uang Kertas Bank Indonesia
Tahun 1952 (Seri Kebudayaan)
Tahun 1954 - 1956 (Seri Suku Bangsa)
Tahun 1957 (Seri Hewan)
Tahun 1958 (Seri Pekerja)
Tahun 1960-1961 (Seri Soekarno Untuk Daerah Irian Barat dan Riau)
Tahun 1964 (seri Sukarelawan)
Tahun 1968 (Seri Sudirman)
Setelah Seri Sudirman tahun 1068, Bank Indonesia tidak pernah
mengeluarkan
uang secara lengkap dari pecahan kecil hingga yang besar.
Tiap-tiap pecahan
diterbitkan pada tahun yang berbeda sehingga memiliki
pola dan gambar yang berbeda.
Tahun 1975
Tahun 1977
Tahun 1993
Seri Soeharto Rp. 50.000 merupakan seri uang yang berbahan Polymer (Plastik) pertama di Indonesia.
Tahun 1999
Uang 100.000 berbahan Polymer
Tahun 2004
Tahun 2005
Tahun 2005
Tahun 2010
TAHUN 2016 19 DESEMBER
Berikut adalah gambar pahlawan di uang baru itu:- Rp 100.000 bergambar Presiden Pertama RI Soekarno dan Wakil
- Presiden RI Mohammad Hatta
- Rp 50.000 bergambar Djuanda Kartawidjaja
- Rp 20.000 bergambar Sam Ratulangi
- Rp 10.000 bergambar Frans Kaisepo
- Rp 5.000 bergambar KH Idham Chalid
- Rp 2.000 bergambar Mohammad Hoesni Thamrin
- Rp 1.000 bergambar Tjut Meutia
- Rp 1.000 bergambar I Gusti Ketut Pudja (uang logam)
- Rp 500 bergambar TB Simatupang (uang logam)
- Rp 200 bergambar Tjiptomangunkusumo (uang logam)
- Rp 100 bergambar Herman Johannes (uang logam)
Catatan:
Diawal kemerdekaan RI, Rupiah memiliki satuan di bawahnya, rupiah
disamakan nilainya dengan gulden Hindia Belanda, sehingga dipakai pula
satuan-satuan yang lebih kecil yang berlaku di masa kolonial. Berikut
adalah satuan-satuan yang pernah dipakai namun tidak lagi dipakai karena
penurunan nilai rupiah menyebabkan satuan itu tidak bernilai penting.
disamakan nilainya dengan gulden Hindia Belanda, sehingga dipakai pula
satuan-satuan yang lebih kecil yang berlaku di masa kolonial. Berikut
adalah satuan-satuan yang pernah dipakai namun tidak lagi dipakai karena
penurunan nilai rupiah menyebabkan satuan itu tidak bernilai penting.
Satuan di bawah rupiah
- sen, seperseratus rupiah (ada koin pecahan satu dan lima sen)
- cepeng, hepeng, seperempat sen, dari feng, dipakai di kalangan Tionghoa
- peser, setengah sen
- pincang, satu setengah sen
- gobang atau benggol, dua setengah sen
- ketip/kelip/stuiver (Bld.), lima sen (ada koin pecahannya)
- picis, sepuluh sen (ada koin pecahannya)
- tali, seperempat rupiah (25 sen, ada koin pecahan 25 dan 50 sen)
Terdapat pula satuan uang, yang nilainya adalah sepertiga tali.
Satuan di atas rupiah
Terdapat dua satuan di atas rupiah yang sekarang juga tidak dipakai lagi.
- ringgit, dua setengah rupiah (pernah ada koin pecahannya)